Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR menolak usulan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
Rancangan undang-undang yang dibahas sejak 2012 itu dianggap bisa memberikan efek jera bagi koruptor.
Dengan komposisi mayoritas partai pendukung, pemerintah seharusnya bisa menekan DPR menyetujui RUU Perampasan Aset.
Penguasa negara ini sungguh aneh bin garib. Ketika pemerintah gembar-gembor akan menyita aset pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, DPR malah melemparkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset ke keranjang sampah. Pekan lalu, politikus Senayan menampik usul pemerintah untuk memasukkan RUU tersebut ke Program Legislasi Nasional 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah sudah merancang undang-undang perampasan aset sejak 2012. Tujuannya baik: untuk mengatasi sulitnya penyitaan aset hasil korupsi atau tindak pidana ekonomi lainnya. Bila kelak disahkan, undang-undang tersebut bakal memberikan legitimasi bagi negara untuk menyita harta hasil kejahatan, meski pelakunya kabur atau meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan undang-undang yang sama, negara juga akan lebih mudah menyita aset hasil tindak pidana yang sudah berpindah tangan, tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Mereka yang semula menguasai aset tersebut memang bisa mengajukan keberatan ke pengadilan. Namun, saat itu, harta hasil kejahatan sudah dikuasai negara.
Bagi para koruptor, klausul perampasan aset seperti itu jelas mengerikan. Selama ini, banyak koruptor--juga pelaku kejahatan lainnya--yang mencuci uang haram dengan membeli pelbagai jenis aset, sehingga sulit disita negara. Ujung-ujungnya, kalaupun harus masuk penjara, pengumpul aset hasil kejahatan bisa tenang-tenang saja. Toh, selepas dari bui, mereka akan tetap tajir tujuh turunan. Tanpa hukuman pemiskinan, penjara tidak memberikan efek jera.
Maka, kita layak mempertanyakan dalih Badan Legislasi DPR yang menolak untuk segera membahas RUU Perampasan Aset. Di mana posisi mereka dalam perang melawan korupsi? Alasan politikus DPR bahwa sisa waktu tiga bulan terlalu singkat untuk membahas RUU Perampasan Aset jelas mengada-ada. Sebab, ketika ada maunya, DPR bisa membahas dan mengesahkan rancangan udang-undang dalam waktu sempit sekalipun. Kita masih ingat, pada pengujung 2019, DPR dan pemerintah memaksakan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu belasan hari. Hasilnya adalah undang-undang yang meracuni dan melumpuhkan komisi antikorupsi.
Janji DPR untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam daftar prioritas program legislasi tahun depan juga tak bisa kita pegang. Apalagi Badan Legislasi DPR mensyaratkan persetujuan dari sembilan alias seluruh fraksi di Senayan.
Seperti halnya janji DPR, kesungguhan pemerintah dalam mengajukan RUU Perampasan Aset juga layak dipertanyakan. Mengapa pemerintah baru mengajukan RUU Perampasan Aset ke DPR di ujung tahun, ketika pemerintah gencar mengumumkan rencana menyita aset para pengemplang dana BLBI? Mengapa pula pemerintah tidak mengajak DPR membahas RUU tersebut jauh hari?
Sudah telat mengajukan usul, pemerintah pun seolah-olah tak berdaya begitu Badan Legislasi DPR menolak rancangan undang-undang itu. Padahal pemerintahan Jokowi didukung oleh koalisi partai yang menguasai lebih dari 80 persen kursi DPR. Dengan komposisi partai pendukung sebesar itu, seharusnya tidak sulit bagi pemerintah untuk mendorong DPR meloloskan rancangan undang-undang apa pun.
Kini, wajar saja bila banyak yang ragu akan komitmen pemerintah untuk memulihkan kerugian negara akibat ulah koruptor. Tanpa Undang-Undang Perampasan Aset, upaya penyitaan harta hasil kejahatan bakal mentok di sana-sini. Gembar-gembor penyitaan aset pengemplang dana BLBI pun, boleh jadi, akan berakhir sebagai kampanye pencitraan belaka.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo