Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keputusan-keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum sudah berlebihan.
Kewenangannya melampaui posisinya sebagai lembaga etik.
Sudah saatnya DKPP hanya menjalankan fungsi sebagai lembaga etik.
LEBIH dari sekadar berlaku lajak, tindakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) memecat Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan wujud dari kekuasaan berlebih sebuah lembaga etik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lazimnya lembaga etik hanya mengeluarkan rekomendasi untuk dilaksanakan lembaga lain. Komisi Yudisial, misalnya, memberikan rekomendasi atas pelanggaran etika para hakim. Eksekusi selanjutnya dilakukan Mahkamah Agung. DKPP merupakan satu-satunya lembaga etik di Indonesia yang diberi wewenang memberhentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang dilakukan Ketua KPU Arief Budiman pun secara etik bisa diperdebatkan. Pada April 2020, ia menemani koleganya, Evi Novida Ginting Manik, anggota KPU nonaktif, mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Dewan Kehormatan menilai tindakan ini merupakan perlawanan terhadap putusan DKPP dan bentuk penyalahgunaan wewenang.
Perkara berpangkal pada sengketa lama antara DKPP dan KPU. Pada 2019, KPU menetapkan Cok Hendri Rampon sebagai pemenang pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat. Menganggap KPU berat sebelah, DKPP memberhentikan Evi—ketika itu Wakil Koordinator KPU Kalimantan Barat. Evi belakangan menggugat keputusan ini.
Dewan Kehormatan menilai tindakan Arief melanggar etika sehingga pantas diberhentikan. Padahal kehadiran pimpinan lembaga ketika anggotanya menjalani proses hukum bukan sesuatu yang luar biasa. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, pernah hadir saat Novel Baswedan, salah satu penyidik, diperiksa polisi. Kehadiran bukan untuk menekan aparat penegak hukum lain, melainkan buat memberikan dukungan moral. Sebagai warga negara, Evi pun berhak menggugat dan Dewan Kehormatan sepatutnya menghormati proses hukum itu.
Sudah saatnya wewenang DKPP dibatasi. Kekuasaan memecat pejabat lembaga lain—komisioner KPU dan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum—telah melampaui batas. Problem kelembagaan bisa muncul karena pejabat yang dapat mereka pecat merupakan pimpinan lembaga yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dan diangkat presiden.
Keputusan Dewan Kehormatan bahkan bisa mengubah ketetapan KPU dan Bawaslu sehingga dapat mempengaruhi hasil pemilihan umum. Wewenang ini melahirkan wasangka bahwa DKPP telah digunakan oleh partai politik untuk membela kepentingan jangka pendek mereka. Para politikus bahkan bisa menjadikan DKPP sebagai alat untuk menghantam lawan politik.
Adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang memberikan wewenang terlalu besar kepada Dewan Kehormatan. Sudah saatnya undang-undang ini direvisi dan posisi Dewan Kehormatan dikembalikan sebagai lembaga etik tanpa wewenang menghukum.
Marwah DKPP tak surut jika ia kembali ke khitah. Sebagai lembaga etik, DKPP bisa merangsek jauh untuk memeriksa potensi pelanggaran etika pimpinan KPU dan Bawaslu. Pengawasan etika itu harus dilakukan agar lembaga penyelenggara pemilu dapat dipercaya dan hasil pemilu tidak diragukan publik, termasuk pihak-pihak yang bersaing. Main tabrak hanya akan membuat konflik antarlembaga tak berkesudahan dan DKPP rawan disetir kelompok-kelompok yang beperkara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo