Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERKUAKNYA nama-nama baru dalam perkara korupsi dana bantuan sosial di Kementerian Sosial menunjukkan bobroknya birokrasi dan buruknya mental pejabat publik di Indonesia. Mungkin hanya di negeri ini anggaran untuk orang miskin dijarah para elite politik. Ironisnya, pelaku utama laku lancung ini berasal dari partai penguasa, partai politik yang mengklaim dirinya lahir dari rahim wong cilik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan terakhir, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi gencar menelisik keterlibatan dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan: Herman Hery dan Ihsan Yunus. Kantor, tempat tinggal, dan sejumlah perusahaan yang diduga terafiliasi dengan mereka digeledah penegak hukum. Aksi cepat KPK menindaklanjuti pengakuan mantan Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, yang sudah menjadi tersangka kasus ini, harus didukung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herman dan Ihsan bukan orang sembarangan. Herman adalah Ketua Komisi Hukum DPR, mitra kerja para penegak hukum di lembaga legislatif. Sedangkan Ihsan adalah Wakil Ketua Komisi Sosial DPR, badan yang seharusnya mengawasi kinerja Kementerian Sosial. Keduanya juga orang penting dalam lingkaran pengurus PDIP.
Peran Herman dan Ihsan dalam korupsi dana bansos sangat signifikan. Mereka diduga memperoleh porsi mayoritas dalam pengadaan barang pada 12 tahap bantuan dengan total nilai Rp 3,4 triliun. Dengan kata lain, separuh dari bujet bantuan sosial untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebesar Rp 6,4 triliun mereka kuasai. Sebagian lainnya disebut-sebut dikendalikan Juliari.
Modusnya sederhana: Herman dan Ihsan diduga meminjam nama sejumlah perusahaan dengan upah menggiurkan. Setelah kuota pengadaan bansos diperoleh, nilai barang-barang kebutuhan pokok dalam setiap paket disunat habis. Para pengusaha yang bersedia meminjamkan perusahaannya harus diganjar sanksi setimpal.
Selama penyidikan berlangsung, Herman dan Ihsan harus dinonaktifkan dari DPR. Tindakan itu akan mengirim sinyal tegas perihal komitmen antikorupsi partai banteng. Sebagai pemenang dua pemilihan umum terakhir, PDIP wajib memberikan teladan tentang penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang bersih. Membiarkan keduanya tetap bercokol di DPR akan membuat KPK kikuk sekaligus memantik wasangka bahwa korupsi ini direstui pimpinan partai.
Apalagi ada indikasi Herman mencoba menghambat proses penegakan hukum dengan memanfaatkan posisi dan kekuasaannya di DPR. Tanpa dukungan politik, nyaris mustahil buat KPK membongkar kasus ini sampai ke pangkalnya. Termasuk menelisik kabar soal keterlibatan politikus lain yang lebih berkuasa daripada Herman.
Langkah Menteri Sosial yang baru, Tri Rismaharini, untuk mengganti skema penyaluran bansos dari paket bahan pokok menjadi bantuan transfer tunai patut didukung. Tidak hanya di Ibu Kota, model baru penyaluran santunan berupa uang tunai melalui transfer bank atau metode pengiriman lain harus diterapkan di seluruh Indonesia.
Menteri Risma seharusnya tak berhenti di sana. Dia juga harus meninggalkan pola bantuan karitatif yang menempatkan orang miskin semata-mata sebagai obyek tak berdaya. Dia tak boleh meneruskan pola-pola bantuan ala Sinterklas yang hanya bagus untuk pencitraan politik, tapi tak banyak mengubah kemiskinan struktural di negeri ini.
Perubahan mendasar semacam itu tentu harus dimulai dari Presiden Joko Widodo. Keberpihakan pemerintah kepada kaum papa harus tampak dari penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sulit untuk meyakini bahwa Presiden sungguh-sungguh dalam mengentaskan angka kemiskinan jika anggaran Kementerian Sosial pada 2020 hanya Rp 62,77 triliun, jauh di bawah anggaran untuk Kementerian Pertahanan yang mencapai Rp 131 triliun. Meski setelah pandemi dana bantuan sosial dinaikkan sampai Rp 124,7 triliun, jumlahnya tetap lebih kecil dari anggaran kementerian yang dipimpin Prabowo Subianto itu.
Ketimpangan ini makin terasa jika kita menengok anggaran Kementerian Kesehatan, ujung tombak penanganan wabah, yang hanya mendapat alokasi Rp 84,3 triliun pada tahun ini. Padahal, agar berhasil mengendalikan wabah Covid-19, kementerian itu butuh dana yang besar.
Hanya bandit tengik yang tega menilap anggaran bansos dan menilai kaum miskin, jompo, dan difabel adalah sekelompok orang bodoh dan lemah, yang haknya bisa dirampas kapan saja. Alokasi anggaran yang minim dan anggapan yang meremehkan orang kecil merupakan bukti lemahnya komitmen para politikus terhadap nasib wong cilik. Tanpa perubahan mendasar dari cara pandang itu, korupsi atas anggaran orang miskin akan terus terjadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo