Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para koruptor, politikus, dan kekuatan oligarki sudah sepantasnya berterima kasih kepada Firli Bahuri. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini berhasil membawa lembaga antirasuah berada di titik terendah sepanjang 17 tahun berdiri. Setelah menyingkirkan 75 pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan yang absurd, Firli kini menggandeng narapidana korupsi sebagai agen antikorupsi. Mereka yang dulu dianggap pesakitan pun kini menjadi teman seperjuangan.
Rencana KPK menggandeng narapidana korupsi meluncur dari mulut Firli. Alasannya: para tahanan itu lebih tahu betapa berbahayanya korupsi di negeri ini. Dengan begitu, kampanye melawan korupsi bisa lebih efektif bila menggandeng terpidana korupsi. Jumat pekan lalu, KPK menyebutkan empat dari 28 narapidana Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin telah lolos seleksi. KPK boleh saja berdalih bahwa mereka tidak serta-merta akan menjadi penyuluh kampanye antikorupsi. Tapi melibatkan mereka dalam program antikorupsi jelas menunjukkan sesat logika dalam mencegah dan memberantas rasuah di negeri ini.
Apa yang bisa diharapkan dari para pesakitan yang selama ini justru bersiasat menekuk hukum demi kepentingan golongan dan pribadi? Apalagi banyak dari mereka yang tidak pernah mau mengakui perbuatan tercela tersebut. Sulit membayangkan mereka terlibat dalam kampanye antikorupsi, memberikan testimoni tentang pengalamannya menjalani proses hukum, sementara dalam persidangan tidak pernah mengaku bersalah atas kerusakan yang sudah mereka perbuat. Sikap moral dan integritas mereka sudah sepantasnya dipertanyakan.
Tak mengherankan bila publik langsung bereaksi menanggapi rencana KPK tersebut. Kecewa dan marah? Sudah pasti. Mewujudkan rencana ini sama saja dengan melukai rasa keadilan masyarakat. Tapi, ada baiknya kita ikuti lebih dulu logika Firli.
Alih-alih menyebarkan nilai-nilai integritas antikorupsi, para pesakitan itu bisa memberi testimoni di depan masyarakat bagaimana mereka selama ini mengelabui penegak hukum: dari merekayasa motif hingga menyusun modus operandi. Syukur-syukur kisah mereka bisa menjadi sumber inspirasi bagi para pejabat atau politikus lainnya untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Bukan hanya itu. Dari mereka pula, para pejabat korup bisa belajar menghindar dari penangkapan dan penggeledahan. Kalau perlu, rekayasa kecelakaan ala Setya Novanto menabrak pohon, lalu tiang listrik, kembali diulang. Termasuk memesan kamar rumah sakit sebelum kecelakaan terjadi.
Pelajaran selanjutnya yang bisa dipetik oleh calon koruptor adalah siasat mereka menghindar dari kejaran wartawan, namun tetap tenang dan tersenyum saat diberondong pertanyaan. Dengan mengenakan baju tahanan, para terpidana itu bisa mengajarkan pose dua jari paling yahud agar foto mereka tetap semringah di media massa.
Ibarat pemain sinetron, para terpidana ini bisa tersenyum sekaligus berpura-pura sedih pada saat yang hampir sama. Terutama bila hasil pemeriksaan dan fakta hukum di persidangan semakin memojokkan. Tak jarang mereka memasang muka muram, memohon ampun kepada majelis hakim agar vonis diperingan, sambil berkoar-koar telah menyantuni anak yatim piatu dan memberikan sumbangan.
Mereka juga bisa melatih para penyelenggara negara yang tertangkap agar seolah-olah menjadi korban. Salah satu yang kerap dilakukan adalah berpura-pura terlihat agamis dengan memakai hijab atau baju gamis selama persidangan. Inilah yang dilakukan jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam sidang kasus suap Joko Tjandra, walau ia mencopotnya kembali saat dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang.
Dari semua itu, masyarakat luas bisa memetik pelajaran: bagaimana seluk-beluk melakukan korupsi. Lupakan peringkat indeks korupsi Indonesia yang terus merosot. Sebab, inilah masanya koruptor dan kekuatan oligarki berpesta pora di negeri ini, dengan dalih berkolaborasi menjadi agen antikorupsi.
**
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo