Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo merombak kabinet merupakan langkah yang terlambat. Harga yang harus dibayar publik akibat kasipnya Presiden mengoreksi keputusannya sendiri saat menyusun kabinet dengan keliru sungguh mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seandainya Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto segera diganti setelah terbukti gagal mengatasi gelombang awal pandemi Covid-19, program pemerintah dalam pengendalian penularan wabah ini pasti jauh lebih baik dari sekarang. Setidaknya publik bakal merasa lebih tenang karena posisi tertinggi di Kementerian Kesehatan dipegang oleh seseorang yang tak meremehkan bahaya pandemi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persediaan vaksin yang bisa disuntikkan kepada rakyat untuk membangun kekebalan bersama (herd immunity) juga akan lebih banyak. Kita tahu, lambannya persetujuan Terawan untuk membeli vaksin Covid-19 beberapa bulan lalu membuat pemerintah kini kalang-kabut mencari stok dari berbagai perusahaan farmasi dunia.
Kasus korupsi yang membelit Kementerian Sosial serta Kementerian Kelautan dan Perikanan juga bukan sesuatu yang tiba-tiba. Kejanggalan dalam kebijakan ekspor benur lobster yang diluncurkan Edhy Prabowo sudah ramai diberitakan berbulan-bulan sebelum dia dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian juga kekacauan pengadaan paket bantuan sosial oleh Juliari Peter Batubara.
Tak sigapnya Fachrul Razi mengatasi ekspansi kelompok Islam radikal, juga kurangnya inisiatif Menteri Agama menjaga iklim toleransi beragama, sudah lama dikeluhkan khalayak. Tapi Presiden Jokowi baru mengganti pembantunya ketika perseteruan antarkelompok agama meruncing lagi setelah kedatangan pentolan Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, dari Arab Saudi, awal November lalu.
Rasan-rasan ketakpuasan Jokowi atas kinerja kabinet sebenarnya terdengar sejak Juni lalu. Tiga bulan memasuki masa pandemi, sejumlah menteri memang tampak gamang dan tak responsif mengambil kebijakan. Teguran terbuka Presiden rupanya tak berhasil memperbaiki performa mereka.
Harus diakui, biang kekacauan sesungguhnya berasal dari Jokowi sendiri. Memimpin kabinet periode kedua, ia gagal terbebas dari tekanan partai politik. Tanpa beban untuk terpilih ketiga kali, ia sesungguhnya punya ruang gerak yang lebih luas. Masuknya sejumlah nama bermasalah tapi didukung partai politik dalam kabinet menunjukkan kelemahan Jokowi dalam mengambil keputusan. Di masa depan, kemandirian Presiden akan lebih besar jika Mahkamah Konstitusi mau menghapus ketentuan presidential threshold dalam pencalonan presiden.
Meski keputusan Jokowi mengganti sejumlah menteri mungkin memperbaiki efektivitas sebagian program pemerintah, reshuffle ini tak bakal berdampak besar dalam jangka panjang. Selama arah pembangunan negeri ini tak dievaluasi, berbagai keluhan publik tak akan bisa diselesaikan.
Sejak enam tahun lalu, Jokowi mendorong dominasi peran negara dalam pembangunan (developmental state), yang berakibat pada kian banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan. Kita kehilangan peran negara yang seharusnya menjadi wasit yang adil untuk berbagai urusan ekonomi dan pelindung buat rakyatnya yang paling rentan. Di bawah Jokowi, negara menjelma menjadi kepanjangan tangan pengusaha dan pemilik modal semata. Reshuffle ini tak bakal mengubah realitas pahit itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo