Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISRUH yang terus berlanjut di tubuh organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sungguh semakin tak bermutu. Setahun terakhir, sebagian pengurus bentrok. Keadaan semakin parah, akhir September lalu nongol Kadin tandingan. Rizal Ramli, yang sedang "berkampanye" untuk Presiden RI pada 2014, menjadi Ketua Pelaksana. Dua pengusaha masa lalu, Setiawan Djody dan Oesman Sapta Odang, duduk sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Pertimbangan. Trio "kawakan" ini berhadapan dengan Kadin pimpinan Suryo Bambang Sulisto, yang mengklaim diri pengurus sah sampai 2015.
Setelah berusia 45 tahun, Kadin justru semakin jauh dari cita-citanya melahirkan pebisnis kuat dan berdaya saing tinggi. Wadah pembinaan dan komunikasi antarpengusaha itu malah banyak menggantungkan nasib pada proyek pemerintah pusat ataupun daerah. Lebih buruk lagi, ada pengusaha yang sekadar makelar proyek. Potret mereka jauh dari harapan kita akan pengusaha yang ulet, jujur, berani bersaing di pasar, dan memiliki visi bisnis cemerlang.
Sudah terlalu banyak contoh betapa Kadin hanya menjadi batu loncatan bagi pengusaha untuk masuk ke lingkaran kekuasaan. Pemerintah memang memberikan privilese kepada Ketua Kadin, misalnya untuk mengikuti perjalanan dinas presiden ke luar negeri. Kadin juga menjadi wakil resmi pengusaha Indonesia dalam event di luar negeri.
Semua keistimewaan itu bersumber dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kadin. Pada Pasal 6, contohnya, tertera pula fungsi organisasi ini sebagai wadah komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dan pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, industri, dan jasa. Walhasil, berbagai fasilitas itulah yang membuat organisasi ini bak primadona dan menjadi rebutan pengusaha. Situasi serupa jarang terjadi di organisasi pengusaha lain, seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
UU Nomor 1 Tahun 1987 sesungguhnya tipikal warisan Orde Baru, rezim yang menyukai organisasi serba tunggal. Keadaan sudah berubah. Sebagian fungsi Kadin, sebagai pemberi masukan untuk membuat kebijakan di bidang perdagangan dan industri serta jasa, telah diambil organisasi lain. Presiden, misalnya, mengajak pengusaha dari Komite Ekonomi Nasional merumuskan kebijakan ekonomi. Pengusaha di luar Kadin pun kerap diajak mengikuti lawatan presiden ke luar negeri.
Organisasi kamar dagang dan industri di berbagai negara tumbuh tanpa banyak perlakuan istimewa dari pemerintah negaranya. Di era digital ini pun pemerintah mudah saja berkomunikasi dan menerima masukan dari berbagai organisasi dan asosiasi pengusaha secara setara dan terbuka. Bahkan lobi bisnis, atau kegiatan lain untuk mempengaruhi pembuat kebijakan, boleh dilakukan organisasi mana pun selama tidak melanggar hukum.
Menyimak perkembangan zaman, juga kisruh di tubuh wadah pengusaha itu, sudah saatnya hak istimewa Kadin dicabut. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bisa merevisi UU Nomor 1 Tahun 1987. Presiden tak harus pula mengajak Ketua Kadin setiap kali melawat ke luar negeri. Dengan demikian, Kadin memiliki kedudukan yang setara dengan organisasi pengusaha lain.
Tanpa hak istimewa, satu alasan kuat pengurus Kadin "baku hantam" diharapkan hilang. Pengusaha mandiri dengan daya saing tinggi tak akan lahir dari organisasi yang terus ribut dan hanya "menyusu" pada pemerintah.
berita terkait di halaman 117
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo