Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
El Nino bisa menurunkan produksi padi dan stabilitas harga beras.
BMKG memperingatkan bahwa kemarau panjang bisa mengganggu ketahanan pangan.
India memutuskan untuk menyetop pengiriman beras ke negara-negara lain, termasuk ke Indonesia.
Pemerintah hendaknya tidak menganggap remeh dampak El Nino yang sudah di depan mata. Meski dampak fenomena iklim tersebut diprediksi tidak separah tahun-tahun sebelumnya, El Nino bakal mempengaruhi produksi beras nasional. Apalagi kondisi sektor pangan saat ini sedang sempoyongan. Selain produksi terus turun, harga beras melesat sejak pertengahan tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan El Nino akan mencapai puncaknya pada Agustus hingga September 2023. Suhu panas ekstrem dapat menyebabkan sebagian wilayah Indonesia kering kerontang. Cuaca ekstrem kemarau panjang tersebut bisa mengganggu ketahanan pangan nasional. Bila tidak ada mitigasi yang memadai, ancaman inflasi mengintai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Ancaman Berlipat El Nino
Itu sebabnya, kendati El Nino tahun ini diperkirakan tidak separah gelombang panas 2015 atau 1997-1998, pemerintah tetap perlu menjaga pasokan serta harga pangan, terutama beras. Merujuk pada data Badan Pangan Nasional, harga beras cenderung naik sejak Juli 2022. Padahal pemerintah sudah mengimpor beras sejak akhir tahun lalu dan melewati masa panen raya pada Maret-Juni.
Tak bisa ditolak, datangnya El Nino sudah pasti akan memperparah anjloknya produksi padi dan berdampak pada harga beras. Ikhtiar untuk menstabilkan harga beras pun bakal semakin berat.
Ancaman fenomena El Nino sebenarnya sudah dilantangkan BMKG sejak akhir tahun lalu. Presiden Joko Widodo sempat menyinggungnya pada Februari lalu. Namun, hingga saat ini, ketahanan pangan masih menjadi sorotan. Di lapangan, produksi beras belum mencukupi dan harganya terus merangkak. Mitigasi terhadap ancaman dampak El Nino belum membuahkan hasil.
Pemerintah seperti tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Pada 2009, El Nino memicu kekeringan pada 80 ribu hektare sawah. Enam tahun kemudian, 111 ribu hektare sawah mengering.
Yang terparah tentu saja cuaca ekstrem yang terjadi menjelang akhir 1997. El Nino memicu kebakaran hutan dan lahan pada Oktober 1997. Lebih dari 300 ribu hektare sawah mengering dan petani gagal panen. Harga komoditas pangan meroket. Masyarakat yang sudah rapuh jatuh ke jurang krisis sosial. Sejumlah studi menyebutkan, El Nino merupakan satu dari sekian banyak faktor penyebab terjadinya gejolak ekonomi dan politik pada 1997-1998.
Tidak hanya mempengaruhi musim kemarau dan jadwal tanam musim hujan, El Nino juga dapat memicu ancaman lainnya, seperti ledakan hama pada musim kering. Itu yang terjadi saat ini. Sejumlah petani di berbagai daerah sudah teriak soal serangan hama yang mengganggu hasil panen mereka.
Pada masa puncak anomali cuaca akibat El Nino, ledakan hama diprediksi semakin menjadi-jadi. Produksi padi bakal sangat bergantung pada seberapa cepat upaya pemerintah mengendalikan gangguan hama. Bila tidak berhasil, kombinasi kekeringan dan serangan hama bisa menurunkan produksi padi sebesar 10-15 persen.
Tantangan lain yang juga perlu dicermati datang dari luar. Pekan lalu, India memutuskan untuk menyetop pengiriman beras mereka ke negara lain. Keputusan itu bakal berdampak pada Indonesia karena pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras dari India untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Keputusan India menghentikan ekspor beras juga dapat menyebabkan negara-negara yang selama ini menggantungkan diri pada beras India akan menjatuhkan pilihan ekspor pada Vietnam dan Thailand, yang selama ini menjadi andalan Indonesia. Dengan suplai yang terbatas, persaingan memperoleh beras bakal semakin sengit.
Kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan beras dalam negeri bisa mengguncang stabilitas harga. Jika mitigasi dampak El Nino terhadap ketahanan pangan gagal, inflasi bisa kembali melonjak di atas 5 persen. Dampaknya, antara lain, distribusi barang tidak merata dan daya beli masyarakat kembali tergerus. Bila sudah begitu, masyarakat juga yang akan merasakan pahitnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo