Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tepi jalan kereta api di stasiun Köln Messe/Deutz patung-patung raja berkuda jadi hijau oleh cuaca beratus tahun. Terselip di antara pepohonan dan kabel-kabel yang terentang, mereka seperti barang logam bekas yang diletakkan di sana karena orang tak tahu ke mana harus dibuang. Yang saya lihat sebuah sosok yang seakan-akan sedang menggerakkan kudanya maju, tapi jalan telah raib. Abad ke-21 meletakkan sisa-sisa raja ke ruang yang kehilangan arti.
Tentu saja tak hanya sisa-sisa raja. Dan tak hanya di Jerman. Juga mimpi dan rasa cemas di Eropa yang membagi-bagi benua itu—sebelum ataupun sesudah Brexit. Dari jendela gerbong dari Frankfurt menuju Amsterdam—ini tahun 2012—saya menyadari, tapal batas antara Belanda dan Jerman kini hanya dikenang sebagai cerita absurd nasionalisme. Ribuan orang mati dalam dua perang besar abad ke-20 untuk mengubah letak tapal batas itu. Di abad ke-21, yang mati pura-pura dikenang, dan yang dipertengkarkan tak berbekas.
Tapi benarkah? Peta telah jadi digital, ya—namun kemajuan tak dengan sendirinya disertai tumbuhnya sesuatu yang nyaman: ruang hidup yang akrab. Eropa telah jadi bangunan supranasional; pelbagai keputusan yang mengatur hidup orang ditentukan nun jauh di luar ibu kota negeri masing-masing, oleh orang-orang, terutama para teknokrat, yang duduk di markas besar Uni Eropa di Brussels. Tapi dengan demikian, ada sebuah proses yang terasa tak terjangkau, terasa tak hadir.
Dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit 12 Juli 2016—setelah Brexit—Habermas menyebut terjadinya ”pengosongan teknokratis” (technokratische Entleerung) dari kehidupan. Uni Eropa, kata Habermas, dibentuk sedemikian rupa hingga keputusan ekonomi yang paling elementer, yang akibatnya mengenai seluruh masyarakat, ”ditanggalkan dari pilihan demokratis”. Brexit adalah gejala ”pasca-demokrasi”, ketika orang banyak, para warga, merasa hak dan kendali mereka lepas, dan sebab itu mereka bangkit untuk merebutnya kembali dalam sebuah referendum.
Dengan kata lain Brexit sebuah ungkapan anti-teknokrasi. Ada keinginan kembali kepada ruang hidup yang lebih akrab. Ada keyakinan yang tumbuh bahwa dalam ruang hidup itu peran negara nasional, yang mengikutsertakan para warga, bisa lebih cocok dengan keinginan orang banyak.
Yang dilupakan, suara orang banyak di Jerman, Prancis, Italia, dan lain-lain itulah yang pernah bersorak untuk nasionalisme dan perang. Maka tak mengherankan bila Persatuan Eropa—dengan tujuan mencegah perang baru—sejak mula dirintis dengan langkah yang mirip cara membentuk perusahaan besar ketimbang ramai-ramai mendirikan sebuah alternatif bagi nasionalisme. Jean Monnet, ”Bapak Eropa”, tak memulainya dengan gerakan politik. Ia mendirikan ”Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa”, yang mengintegrasikan industri Jerman dan Prancis, yang dikoordinasi sebuah ”otoritas tinggi”.
Separuh karena impian perdamaian, separuhnya lagi dengan pragmatisme, negeri-negeri Eropa lain bergabung (Inggris menolak—sebuah indikasi Brexit yang paling awal). Lembaga inilah yang setahap demi setahap jadi Uni Eropa, lewat diplomasi dan pengembangan organisasi yang rumit. Monnet cocok untuk proses itu. Ia orang Prancis kelahiran 1888, anak saudagar brendi yang sejak usia muda mewakili bisnis keluarganya di pelbagai negeri. Lahir di Cognac, ia menggambarkan tempat lahirnya sebagai ”kota brendi di mana orang mengerjakan sesuatu dengan perlahan-lahan dan penuh konsentrasi”. Politik, baginya, berarti negosiasi yang sabar di tingkat atas, bukan kampanye untuk mendapat dukungan khalayak ramai.
Monnet meninggal pada usia 91 tahun. Eropa yang bersatu mulai jalan dan membesar. Dimulai dengan enam, kini ia persatuan 28 negara, terutama bekas negara sosialis yang dengan cepat jadi kapitalis. Tak mengherankan bila modal (bukan khalayak ramai) sangat berperan. Sebuah laporan Oxfam menyebutkan, dalam kelompok yang memberi masukan untuk reformasi pajak Eropa, 82 persen adalah wakil kepentingan swasta dan komersial. Kata seorang sosiolog: Uni Eropa adalah sebuah ”mesin deregulasi”.
Dan peran negara dalam menjaga keadilan jadi layu, dan kesepakatan untuk reformasi makin rumit, dan ketimpangan sosial menajam. Sekitar 123 juta orang Eropa terancam miskin ketika tak sampai 400 orang hidup dengan bermiliar euro.
”Pengosongan teknokratis” akhirnya juga pengosongan proyek Eropa dari antusiasme bersama. Rakyat banyak pun cari harapan di tempat lain—dengan kemarahan. ”Kami”, underdogs yang tersingkir, berdiri melawan ”Mereka”, siapa saja yang ”bukan-Kami”. Suasana antagonistis seperti api dalam sekam. Kekerasan datang, kemarahan menjalar.
Dan Eropa, seperti patung kuda para raja di tepi rel itu, belum tampak mau ke mana.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo