Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Fatima

28 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FATIMA: nama ini bisa datang dari khazanah Islam. Tapi ia juga bisa datang dari pengalaman Katolik: sebuah nama dusun di tanah Portugal bagian barat yang terkenal, karena di sanalah konon mukjizat Bunda Maria terjadi. Fatima: nama ini bisa mengingatkan kita akan nama putri Nabi Muhammad saw. yang dengan hormat dan sayang disebut di pengajian-pengajian. Tapi dengan nama itu juga kita berasosiasi tentang seorang tokoh cerewet dalam telenovela Esmeralda yang dibuat di salah satu negeri Amerika Latin yang jauh, atau sebuah lagu Melayu yang lucu tentang seorang janda muda.

Mana yang benar?

Pertanyaan itu belum sempat diutarakan. Tapi sejumah demonstran datang ke sebuah stasiun televisi yang menyiarkan lakon Esmeralda dan mereka berhasil menghentikan telenovela itu beredar. Mereka berhasil mendesakkan agar hanya ada satu tafsir dan ada satu asosiasi pikiran tentang "Fatima". Dan tiba-tiba kita sadar bahwa selama ini kita sedang berhadapan dengan perkara besar di sekitar bahasa dan sengketa.

Bahasa bukanlah rangkaian makna yang datang dari langit dan selesai sebelum subuh. Bahasa berbicara tentang sebuah masyarakat manusia dan bagaimana ia mengatur dirinya. Bahasa, kata Ferdinand de Saussure, memberikan bukti terbaik bahwa sebuah hukum yang diterima oleh sebuah masyarakat adalah sesuatu yang ditolerir, dan bukan sebuah aturan yang disetujui semua orang secara bebas.

Masalahnya kemudian bagaimana proses penerimaan itu terjadi. Dunia akan merupakan tempat yang sangat menenteramkan hati seandainya kita yakin bahwa sebuah makna—baik kata "Fatima" maupun kata yang lain—menjadi konvensi bersama karena ada tawar-menawar antara para pengguna bahasa yang satu dan lainnya yang seimbang. Tapi mungkinkah?

Kata "cantik" misalnya. Ada masanya ketika kata itu berarti sebuah kualitas wajah yang kurang-lebih sama dengan Surtikanti dalam cerita wayang. Namun, mungkin kini kata "cantik" mengigatkan kita akan wajah Nadia Hutagalung. Ada masanya ketika kata "canggih" seperti didefinisikan oleh kamus W.J.S. Purwadarminta, yang kurang-lebih bersifat negatif. Tapi kini "canggih" adalah terjemahan kata sophisticated, yang sebenarnya lebih mirip dengan "piawai".

Media massa menghasilkan konvensi, dan dengan demikian juga arti. Dan media massa adalah kekuasaan. Para demonstran itu memang punya alasan untuk cemas bahwa SCTV akan mendikte pemberian makna kata "Fatima". Kurang-lebih sama cemasnya dengan seorang linguis yang melihat kata "emosional" oleh koran dan televisi dengan konyolnya diganti menjadi "emosi".

Sebuah desak-mendesak pengaruh tak bisa dielakkan. Tetapi benarkah proses itu akan melahirkan sesuatu yang sehat, bukan saja dalam konvensi bahasa, melainkan juga kehidupan bersama?

Ketika sebuah kata ditentukan—dengan kekuasaan media atau kegemuruhan demonstran—untuk hanya punya satu arti, soal keadilan pun muncul. Jika yang kuat yang akhirnya yang punya bahasa, yang lemah akan menjadi bisu. Persoalan besar dalam kehidupan politik dewasa ini adalah bagaimana kita mengakui bahwa yang lemah bukanlah sisa manusia yang telah kehilangan mulut. Apalagi "yang lemah" bisa bermacam-macam: tidak hanya yang miskin, tapi juga bisa yang kaya, tidak hanya muslimin di Tanjungpriok, tapi juga mungkin pengikut Syiah di Sipirok. Siapa "yang lemah" bisa berubah dari satu situasi ke situasi lain. Tak semua "yang lemah" bisa saling bersepakat.

Dalam hal itu, keadilan memang tak sepatutnya dilihat sebagai soal konflik. Stuart Hampshire baru-baru ini menerbitkan sebuah buku kecil, Justice is Conflict, dan bagi saya agak ganjil bahwa seorang pemikir sosialis-demokrat yang terkenal berpikir demikian. Memang dengan itu kita bisa menghindar dari keangkuhan pikiran, yang mengasumsikan bahwa keadilan bisa ditentukan dengan kejernihan rasio yang siap. Harapan Plato toh tak terbukti: sebuah negeri ternyata tak juga bersih dari keburukan ketika seorang filosof menjadi presiden. Artinya dalam mencari keadilan kita memang harus siap mendengarkan "yang berbeda". Audi alteram partem. Tapi untuk mencapai itu, haruskah konflik jadi paradigma?

Ada beda antara konflik dan ramainya seribu kembang yang tumbuh dan seribu pikiran yang bersaing. Apalagi jika konflik berarti bentuk lain dari perang—dan jika kita percaya, seperti Heraklaitus, bahwa "perang adalah ayah dari semua hal", yang keji maupun yang mulia—maka keadilan sebagai konflik bisa berarti keadilan setelah golok ditebaskan dan bedil ditembakkan. Kita tak tahu apa hasilnya: sebuah masyarakat yang belajar dari luka? Atau sebuah masyarakat yang akan menertawakan luka?

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus