Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, terkenal dengan gagasan yang amat brilian, yakni marsipature hutana be. Barangkali beliau mempunyai impian bahwa dengan gagasan ini huta-huta (huta = kampung halaman) di Sumatera Utara akan menjadi Jakarta-Jakarta kecil. Semua perantau, terutama dari Jakarta, akan pulang ke kampung halaman masing-masing dengan membawa uang banyak, Jadi, bukannya tulang-belulang nenek moyang seperti yang terjadi selama ini. Masalahnya kemudian adalah, apakah gagasan ini applicable, efficient, dan effective? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya sangat setuju dengan tudingan beberapa pihak yang mengatakan bahwa gagasan ini sangat kental bau primordialnya. Tidak sukar memberikan argumentasi untuk mendukungnya. Dari segi bahasa saja, tidak semua orang Sumatera Utara mengerti hakikat gagasan itu karena disampaikan dalam bahasa Batak Toba atau barangkali Mandailing. Perlu diingat bahwa Sumatera Utara bukan provinsi yang mayoritas penduduknya orang Batak Toba ataupun Mandailing. Gagasan ini menjadi lebih tidak applicable lagi kalau kita telah lebih jauh latar belakangnya. Raja Inal mengharapkan agar orang-orang Sumatera di perantauan pulang ke kampungnya membawa kapital. Lalu bagaimana dengan orang-orang Mentawai yang diam di kawasan pulau-pulau Mentawai di Lautan Hindia sana? Selain merupakan barang aneh, gagasan itu juga akan sukar mereka terapkan, kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Segi efisiensi dan efektivitas gagasan ini juga pantas untuk dipertanyakan. Beberapa waktu yang lalu tebersit berita bahwa orang-orang bermarga Siregar yang ada di perantauan mengadakan acara sama-sama pulang kampung dan berpesta ria di kampung halaman mereka. Media massa memberikan porsi pemberitaan yang amat besar atas acara ini. TVRI juga ikut meliputnya. Apakah ini yang diimpikan oleh Raja Inal? Harus diingat bahwa Provinsi Sumatera Utara itu mempunyai ciri khas yang amat unik ditinjau dari suku-suku yang mendiaminya. Oleh karena itu gagasan-gagasan yang berbau primordial mempunyai potensi yang sangat besar untuk menimbulkan antipati dari pihak-pihak yang merasa tidak terwakili. Ketika gagasan ini dilontarkan oleh Raja Inal, saya teringat pengalaman masa kecil sewaktu tinggal di Pematangsiantar. Saat itu Pemerintah Indonesia sedang berada pada Pelita I, dengan dana sangat mepet, sehingga pembangunan dan perbaikan fasilitas-fasilitas umum seperti jalan raya tidak dapat dilakukan serentak. Terdapat lima ruas jalan utama keluar-masuk Kota Pematangsiantar, yaitu ke arah Medan, Tanjungbalai, Seribudolok, Parapat, dan Tanahjawa. Yang saya perhatikan waktu itu adalah bahwa yang mendapat prioritas perbaikan jalan, selain yang ke arah Medan, adalah ke arah tempat bupati yang menjabat pada waktu itu mempunyai kepentingan langsung. Mudah-mudahan pengamatan saya itu tidak benar. Tetapi kalau benar, mudah-mudahan itu hanya terjadi pada masa lampau. Yang saya maksudkan adalah bahwa kemungkinan seperti ini sangat potensial untuk terjadi di Sumatera Utara. Kalau majalah TEMPO terbitan 20 Februari 1993 memberi judul ''Berlomba tanpa Primordialisme'' untuk artikel mengenai calon gubernur Sum-Ut, saya lebih mengartikannya sebagai koreksi atas gagasan Raja Inal tersebut. Lalu, siapakah yang pantas menjadi calon gubernur Sumatera Utara? Idealnya adalah seseorang yang kapabel untuk mengembalikan Sum-Ut ke artinya yang sebenarnya, yaitu satu provinsi yang khas karena potensi alam dan pendukungnya yang juga khas, dan bukan Sum-Ut dalam arti yang lebih dikenal sekarang, yaitu ''semua urusan mesti (dengan) uang tunai''. Ini jauh lebih berarti dibandingkan dengan doa-doa politik itu. Bagaimana Bapak Raja Inal? Apakah Bapak hendak menelurkan gagasan baru lagi? FREDDY RIKSON SARAGIH 232 N Fenimore Ave AZUSA CA-91702, USA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini