Saya sangat terkesan membaca Laporan Utama TEMPO, 30 Januari 1993, tentang kemelut HKBP. Berita itu disuguhkan dengan gaya jurnalistik profesional, dalam arti: luas, faktual, tidak memihak, dan dengan gaya bahasa menarik. Penyuguhan ini telah mengukuhkan kembali reputasi TEMPO sebagai sebuah majalah peringkat atas. Terhadap reportase TEMPO tersebut, saya ingin memberi tambahan penjelasan sebagai berikut. Persoalan pokok yang sering dilupakan orang, terutama para pendukung Dr. S.A.E. Nababan, adalah bahwa masa jabatan ephorus Dr. S.A.E. Nababan, termasuk fungsionaris lain yang dipilih Sinode Godang (sekjen, majelis pusat, praeses), secara konstitusional sudah berakhir pada bulan November 1992. Untuk memilih fungsionaris, termasuk ephorus, periode (1992- 1998), dilakukanlah Sinode Godang November 1992, dengan penanggung jawab pelaksanaannya adalah ephorus, sekjen, dan aparatnya. Kegagalan Sinode Godang bulan November 1992 memilih pimpinan baru telah menimbulkan dampak konstitusional bagi sejarah kehidupan HKBP. Pemerintah, dalam hal ini Bakorstanasda, ikut turun tangan menetapkan solusi pemecahan. Itu dilakukan dengan menunjuk seorang pejabat ephorus yang ditugaskan menyelenggarakan Sinode Godang untuk memilih pimpinan HKBP yang baru. Jadi, tanpa menunjuk penanggung jawab pelaksanaannya, Sinode Godang tidak mungkin diadakan, karena HKBP sejak November 1992 tidak lagi memiliki pimpinan yang bertugas melaksanakan Sinode Godang tersebut. Dengan demikian, mempersoalkan legalitas SK Bakorstanasda yang menunjuk pejabat ephorus itu adalah absurd. Sebab, tujuan pokoknya justru mendukung peraturan HKBP melaksanakan Sinode Godang untuk memilih pimpinan baru. Di sini, hakikatnya Pemerintah tidak campur tangan dalam menentukan siapa yang menjadi pimpinan HKBP. Hal itu diserahkan sepenuhnya kepada HKBP melalui Sinode Godang. Atas dasar pemikiran itu, menjadi amat aneh bahwa Dr. S.A.E. Nababan dan pendukungnya mempersoalkan legalitas SK Bakorstanasda. Dan lebih aneh lagi mereka yang menganggap Dr. S.A.E. Nababan masih tetap sebagai ephorus HKBP, tapi tidak mengakui sekjen yang sama-sama dipilih pada Sinode Godang sebelumnya. Kelihatannya, para pendukung Dr. S.A.E. Nababan, termasuk Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), telah terjebak dalam pola strategi yang dijalankan Dr. S.A.E. Nababan, yaitu membentuk opini masyarakat untuk mempersoalkan legalitas Surat Keputusan Bakorstanasda, bukan mempersoalkan segala perbuatannya selama menjabat ephorus dan ketidakmampuannya melaksanakan Sinode Godang memilih pimpinan baru HKBP. Dalam hubungan inilah kita sangat menyesali sikap PGI yang mengeluarkan pernyataan menolak SK Bakorstanasda dan tetap mengakui Dr. S.A.E. Nababan sebagai ephorus HKBP. SILO MARBUN Jalan Mampang Prapatan VII/13 Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini