Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gambaran bahasa

Kritikus george steiner menggambarkan bahasa jerman tak hidup bersama hitler. hitler menggunakan bahasa yang hanya suaranya gaduh, tapi tak menciptakan suatu kebersamaan. bahasa tanggung jawab manusia.

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA Hitler memang menulis catatan harian, bahasa apa gerangan yang dipakainya? Ia tak biasa dengan bahasa yang bicara teduh dengan diri sendiri. Ia biasa bicara untuk kelompok orang ramai. Ia tak biasa memakai bahasa yang dengan tajam merumuskan kenyataan. Ia terbiasa dengan superlatif. Ia cenderung meniup kata menjadi balon. Di penjara Landsberg -- cobaan pertama dalam perjuangan politiknya di tahun 1923 -- ia pertama kalinya menulis sebuah buku. Judulnya pun panjang dan beringas: Empat Setengah Tahun Perjuangan Melawan Kebohongan, Kebodohan dan Kepengecutan. Semangatnya tinggi. Ia mengetik manuskripnya dengan dua jari, pada mesin ketik yang dipinjamkan oleh sipir -- kadang ketika jendela sel bocor di bawah hujan lebat. Tiap kali satu bagian rampung, ia akan membacakannya keras-keras di depan kawan-kawan separtainya yang juga ditahan. Ia senang dengan kesibukan ini, merasa sedang mengerjakan satu karya besar, filsafat hidupnya. "Para penguasa itu salah dengan menahanku," demikian ia berkata. "Sebetulnya lebih bijaksana bila mereka membiarkan aku berpidato sepanjang waktu ...." Dengan tak lagi boleh pidato, dengan terkunci di sel di Landsberg, Hitler merasa dapat kesempatan merumuskan buah pikirannya. Tapi apa sebenarnya beda antara buku "filsafat" Hitler dan retorikanya di depan khalayak? Ketika ia keluar dari penjara, dan tinggal di desa pegunungan di Berchtesgaden yang indah, ia meneruskan menulis buku yang kemudian disebut Mein Kampf itu. Di situ ia dibantu oleh beberapa teman, antara lain Hanfstaengl, yang mencoba mengedit kalimat-kalimat Hitler: superlatifnya dicoret. Tapi Hitler selalu mengembalikan apa yang dicoret itu. Agaknya ia memang telah terbiasa bicara kepada publik yang berkerumun dan menanti wejangan. John Toland, yang menulis sebuah biografi tentang pemimpin Nazi itu, menduga bahwa Hitler pernah membaca karya Freud tentang psikologi kelompok, yang terbit beberapa tahun sebelum Hitler menulis. Ahli psikoanalisa dari Wina itu mengatakan, sebuah kelompok, satu kerumunan orang, "tak punya kemampuan kritis", dan "tak tahu keraguan maupun kepastian". Maka bila bicara kepada mereka, berlebih-lebihanlah. Ulangilah berkali-kali. Massa, tulis Freud, bersifat tak toleran, tapi patuh kepada otoritas.... Apa yang dimintanya dari sang pahlawan adalah kekuatan, bahkan kekerasan. Ia ingin dikuasai serta ditindas dan takut kepada tuan-tuannya." Hitler mafhum. Seandainya pun ia belum pernah membaca karya dokter jiwa dari Austria itu, ia akan bisa menemukan teori itu sendiri dalam prakteknya. "Dia hanya seorang tukang bikin pidato dan petualang," gerutu Ludendorff. Benar, tapi justru bekas kopral dengan kumis kecil yang menggelikan itulah yang dengan pidato menguasai massa Jerman yang rindu kebesaran. Massa yang menyanyi, O Deutschland hoch in Ehren. Massa yang menyeru Jerman "yang luhur dalam kehormatan". Massa yang tunduk -- juga untuk mengunyah justa atau memuntahkan benci. Dan itulah inti bahasa Hitler. Tak ada yang lebih tajam bisa menggambarkan bagaimana Hitler telah mematikan bahasa Jerman sebagaimana kritikus George Steiner menggambarkannya seperempat abad yang lalu. Kritikus sastra ini, yang menulis sebuah novel tentang Hitler yang masih hidup di hutan Amerika Latin, tahu bagaimana dengan Hitler bahasa Jerman tak hidup lagi: bahasa itu hanya suara gaduh. Memang mengkomunikasikan, tapi tak menciptakan suatu rasa kebersamaan. Ungkapan dan perumpamaannya terus itu-itu juga. Slogan-slogannya tak mencerminkan spontanitas pikiran. Istilah-istilahnya menjadi lebih panjang -- dan lebih tidak persis maknanya. Kata-kata asing yang dipinjam tak diserap ke dalam arus darah bahasa pribumi, melainkan sekadar ditelan. Singkatnya, bahasa itu tak mempertajam pemikiran, malah mengaburkannya. Dan dalam kekaburan itu kita berlindung. "Tanggung jawab terhadap bahasa pada hakikatnya adalah tanggung jawab manusia," kata pengarang besar Jerman Thomas Mann. Dan ia pun terpaksa meninggalkan tanah airnya menjelang Hitler menang, justru untuk tetap bisa berbahasa tanpa kekaburan, tanpa kebohongan. Maka jika Hitler memang menulis catatan harian, bahasa apa gerangan yang dipakainya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus