JIKA Hitler memang menulis catatan harian, bahasa apa gerangan
yang dipakainya?
Ia tak biasa dengan bahasa yang bicara teduh dengan diri
sendiri. Ia biasa bicara untuk kelompok orang ramai. Ia tak
biasa memakai bahasa yang dengan tajam merumuskan kenyataan. Ia
terbiasa dengan superlatif. Ia cenderung meniup kata menjadi
balon.
Di penjara Landsberg -- cobaan pertama dalam perjuangan
politiknya di tahun 1923 -- ia pertama kalinya menulis sebuah
buku. Judulnya pun panjang dan beringas: Empat Setengah Tahun
Perjuangan Melawan Kebohongan, Kebodohan dan Kepengecutan.
Semangatnya tinggi. Ia mengetik manuskripnya dengan dua jari,
pada mesin ketik yang dipinjamkan oleh sipir -- kadang ketika
jendela sel bocor di bawah hujan lebat. Tiap kali satu bagian
rampung, ia akan membacakannya keras-keras di depan kawan-kawan
separtainya yang juga ditahan.
Ia senang dengan kesibukan ini, merasa sedang mengerjakan satu
karya besar, filsafat hidupnya. "Para penguasa itu salah dengan
menahanku," demikian ia berkata. "Sebetulnya lebih bijaksana
bila mereka membiarkan aku berpidato sepanjang waktu ...."
Dengan tak lagi boleh pidato, dengan terkunci di sel di
Landsberg, Hitler merasa dapat kesempatan merumuskan buah
pikirannya.
Tapi apa sebenarnya beda antara buku "filsafat" Hitler dan
retorikanya di depan khalayak? Ketika ia keluar dari penjara,
dan tinggal di desa pegunungan di Berchtesgaden yang indah, ia
meneruskan menulis buku yang kemudian disebut Mein Kampf itu. Di
situ ia dibantu oleh beberapa teman, antara lain Hanfstaengl,
yang mencoba mengedit kalimat-kalimat Hitler: superlatifnya
dicoret. Tapi Hitler selalu mengembalikan apa yang dicoret itu.
Agaknya ia memang telah terbiasa bicara kepada publik yang
berkerumun dan menanti wejangan. John Toland, yang menulis
sebuah biografi tentang pemimpin Nazi itu, menduga bahwa Hitler
pernah membaca karya Freud tentang psikologi kelompok, yang
terbit beberapa tahun sebelum Hitler menulis. Ahli psikoanalisa
dari Wina itu mengatakan, sebuah kelompok, satu kerumunan orang,
"tak punya kemampuan kritis", dan "tak tahu keraguan maupun
kepastian".
Maka bila bicara kepada mereka, berlebih-lebihanlah. Ulangilah
berkali-kali. Massa, tulis Freud, bersifat tak toleran, tapi
patuh kepada otoritas.... Apa yang dimintanya dari sang pahlawan
adalah kekuatan, bahkan kekerasan. Ia ingin dikuasai serta
ditindas dan takut kepada tuan-tuannya."
Hitler mafhum. Seandainya pun ia belum pernah membaca karya
dokter jiwa dari Austria itu, ia akan bisa menemukan teori itu
sendiri dalam prakteknya. "Dia hanya seorang tukang bikin pidato
dan petualang," gerutu Ludendorff. Benar, tapi justru bekas
kopral dengan kumis kecil yang menggelikan itulah yang dengan
pidato menguasai massa Jerman yang rindu kebesaran. Massa yang
menyanyi, O Deutschland hoch in Ehren. Massa yang menyeru Jerman
"yang luhur dalam kehormatan". Massa yang tunduk -- juga untuk
mengunyah justa atau memuntahkan benci.
Dan itulah inti bahasa Hitler. Tak ada yang lebih tajam bisa
menggambarkan bagaimana Hitler telah mematikan bahasa Jerman
sebagaimana kritikus George Steiner menggambarkannya seperempat
abad yang lalu. Kritikus sastra ini, yang menulis sebuah novel
tentang Hitler yang masih hidup di hutan Amerika Latin, tahu
bagaimana dengan Hitler bahasa Jerman tak hidup lagi: bahasa itu
hanya suara gaduh. Memang mengkomunikasikan, tapi tak
menciptakan suatu rasa kebersamaan.
Ungkapan dan perumpamaannya terus itu-itu juga. Slogan-slogannya
tak mencerminkan spontanitas pikiran. Istilah-istilahnya menjadi
lebih panjang -- dan lebih tidak persis maknanya. Kata-kata
asing yang dipinjam tak diserap ke dalam arus darah bahasa
pribumi, melainkan sekadar ditelan. Singkatnya, bahasa itu tak
mempertajam pemikiran, malah mengaburkannya. Dan dalam kekaburan
itu kita berlindung.
"Tanggung jawab terhadap bahasa pada hakikatnya adalah tanggung
jawab manusia," kata pengarang besar Jerman Thomas Mann. Dan ia
pun terpaksa meninggalkan tanah airnya menjelang Hitler menang,
justru untuk tetap bisa berbahasa tanpa kekaburan, tanpa
kebohongan.
Maka jika Hitler memang menulis catatan harian, bahasa apa
gerangan yang dipakainya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini