KUNJUNGANNYA ke Indonesia teramat singkat: kurang dari dua hari.
Dan, berbeda dengan pendahulunya, ia datang tanpa sekoper janji.
Itulah Yasuhiro Nakasone, Perdana Menteri Jepang yang dianggap
bergaris "keras". Semula agaknya ada kekhawatiran kedatangan
bekas Dirjen Badan Pertahanan Jepang itu akan disambut suatu
protes, karena keinginannya untuk 'memiliterisasi' kembali
Jepang.
Ternyata tokoh yang dianggap keras itu datang dengan Jurus-Jurus
yang menyapu semua rintangan. "Sekarang tidak ada lagi ganjalan
dalam hubungan Indonesia dan Jepang," kata Menlu Mochtar
Kusumaatmadja Senin siang lalu, seusai melepas PM Jepang itu di
pelabuhan udara Halim Perdanakusuma.
Nakasone, 64 tahun, yang terpilih sebagai perdana menteri akhir
November 1982 itu, agaknya berbeda dengan para pendahulunya.
Tidak seperti Zenko Suzuki yang memilih mengunjungi ASEAN begitu
terpilih sebagai PM, Nakasone mengunjungi dulu Amerika Serikat,
rekan dagangnya yang utama, agaknya karena memang masalah
hubungan dengan sekutunya itu dianggap yang paling mendesak.
Tujuan kedatangannya ke Indonesia, kata Nakasone, terutama untuk
bertemu dengan Presiden Soeharto secara pribadi. "Hubungan
antar-negara bukan sekadar hubungan antar-pemerintah atau
antar-rakyat kedua negara. Yang paling penting hubungan itu
harus didasarkan pada saling percaya, serta persahabatan pribadi
antara pucuk pimpinan kedua negara," katanya.
Mungkin karena itu ia datang dengan sikap merendah. "Presiden
Soeharto sudah mempimpin Indonesia selama sekitar 15 tahun.
Sedang saya baru enam bulan menjabat perdana menteri. Jika
beliau disamakan dengan mahasiswa universitas, saya cuma seorang
murid sekolah dasar. Karena itu saya meminta Presiden Soeharto
untuk "membimbing saya," ujar Nakasone dalam konperensi persnya
hari Minggu sore lalu. Jawaban Pak Harto? "Beliau cuma
tersenyum," kata Nakasone yang disambut gelak tertawa wartawan.
PM Jepang yang suka puisi haiku, dan musik klasik itu, juga
pandai berdiplomasi. "Saya yakin tanpa ASEAN yang makmur, tak
akan ada kemakmuran Jepang. Dan tanpa Indonesia yang makmur,
tidak akan ada pula Jepang yang makmur. Berdasar keyakinan ini,
saya ingin membagi kemakmuran dan kebahagiaan bersama
negara-negara ASEAN," ucap Nakasone.
Jepang merupakan rekan perdagangan ASEAN yang terbesar. Pada
1981, misalnya, 28,3% ekspor dan 22,9% impor ASEAN ditujukan
atau datang dari Jepang. Jepang juga negara penanam modal
terbesar di ASEAN. Buat Indonesia sendiri, Jepang sejak lama
merupakan relasi dagang terpenting. Pada 1981 ekspor Indonesia
ke Jepang mencapai 47,4% dari seluruh jumlah ekspor, sedang
impor dari Jepang 30% dari keseluruhan volume impor. Sekitar 56%
ekspor minyak Indonesia ditujukan ke Jepang.
Di masa lalu hubungan ASEAN dan Jepang tampaknya lebih diwarnai
kecurigaan yang menimbulkan keraguan dan rententan tuduhan
terhadap iktikad baik Jepang. Resesi ekonomi dunia tampaknya
ikut mengubah pandangan ini. Tegarnya posisi ekonomi Jepang,
agaknya mengagumkan banyak negara, yang berusaha mengkaji
rahasia keberhasilan Jepang. Hingga di bidang manajemen dan
semangat kerja, misalnya, ia dianggap sebagai "model". Malaysia
dan Singapura termasuk negara yang kini "menengok" ke Jepang.
Resesi ekonomi juga membalikkan posisi pasar dunia: kedudukan
pembeli lebih kuat. Sehingga Indonesia yang punya minyak harus
lebih terampil untuk menembus pasaran di Jepang. Dan bukan
menunggu-nunggu datangnya pembeli.
Berbicara tentang peran politik Jepang yang mulai meningkat,
Nakasone mengatakan, Jepang sama sekali tidak berniat menjadi
"raksasa militer". Sekalipun Presiden Soeharto tidak menanyakan,
Nakasone menjelaskan bahwa peningkatan pertahanan Jepang adalah
untuk membela diri, bukan untuk maksud menyerang. Sedang
pengertian 1.000 mil laut sea lane (alur laut) diukur dari
Tokio-Yokohama atau Osaka-Kobe. "Dengan kata lain alur laut itu
tidak akan mencapai wilayah ASEAN," kata Nakasone. Dan Presiden
Soeharto, menurut Nakasone, menganggap hal itu bukan masalah
lagi.
Nakasone juga menjanjikan akan memenuhi permintaan Soeharto
untuk menyampaikan pandangan Indonesia dan ASEAN: agar
konperensi puncak negara industri di Williamsburg, AS, akhir Mei
ini akan memberikan perhatian khusus pada masalah negara yang
sedang membangun di Selatan.
Dalam masalah Kamboja, Jepang seirama dengan sikap Barat: "Kami
akan membekukan bantuan pada Vietnam sampai penarikan mundur
tentara Vietnam dari Kamboja," tutur Nakasone.
Mengenai bantuan, Nakasone menegaskan bantuan Jepang pada
Indonesia pada tahun fiskal 1983 akan berjumlah US$ 281 juta,
suatu kenaikan 6,9% dibanding 1982. Ia juga menjamin negaranya
akan berusaha mempertahankan tingkat 15% impor minyak Jepang
yang berasal dari Indonesia. Di bidang penanaman modal, Nakasone
menegaskan, "Kami tak punya niat untuk mengubah kebijaksanaan
dan akan meneruskan komitmen kami". Jepang juga bersedia memberi
bantuan pangan berupa 140.000 ton beras.
Yang paling menarik tampaknya janji Nakasone untuk lebih membuka
pasar Jepang bagi barang-barang nonminyak Indonesia. Jepang,
katanya, pada 1984 akan mengubah sistem preferensi umum (GSP)
dengan meningkatkan kuota untuk barangbarang industri sampai
sebesar 50% dibanding tahun sebelumnya. "Ini berarti peningkatan
ekspor ke Jepang buat barang-barang Indonesia seperti tekstil.
Kami juga akan membantu mendorong ekspor barang Indonesia ke
Jepang misalnya dengan menerima misi survei Indonesia dan
memberikan konsultasi di bidang ini," kata Nakasone.
Masalahnya kini: apakah kita bisa memanfaatkan pintu yang
terbuka ini? "Kesempatan sudah diberikan pada kita. Kalau
Malaysia bisa, mengapa kita tidak? Kita harus siap sendiri,"
kata Menlu Mochtar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini