AKHIR tahun lalu, sebuah truk nyelonong menabrak rumah di Purworejo, Jawa Tengah. Menurut penelitian, rumah itu bisa lolos seandainya punya pagar. Maka, tebersit gagasan bupati Purworejo, Supantho, "Seandainya semua rumah di Purworejo memiliki pagar ...." Ada lagi soal kambing. "Di Purworejo banyak pertengkaran terjadi karena tanaman di pekarangan dimakan hewan peliharaan itu. Kebun buah pun banyak yang rusak karena tidak dipagari. Rumah tanpa pagar memang mengundang tangan-tangan jahil," kata Supantho. Lagi pula, "Saya sedih jika memasuki Kota Purworejo, karena penduduk jarang yang mau membuat pagar," tambah Supantho. Maka, 11 Februari lalu keluarlah surat keputusan bupati Purworejo tentang "Pembuatan Pagar Permanen dalam Rangka Peningkatan Kebersihan dan Ketertiban". Isinya: seluruh penduduk Purworejo dan Kutoarjo diharuskan membuat pagar halaman permanen, setinggi 120 cm dari bata merah dan pipa besi. Batas akhir pembuatan 17 Agustus 1984. Penduduk yang menolak, "supaya menukarkan tanahnya yang ada di pinggir jalan tersebut dengan tanah yang di dalam, yang tidak berbatasan dengan jalan atau trotoar." Ancaman berikutnya, "penduduk yang mengabaikan atau melalaikan surat keputusan ini dapat diperlakukan lain pelayanannya dari pemerintah daerah." Tanggapan penduduk keras, tapi diam-diam. "Untuk membetulkan rumah saja saya tak punya uang, apalagi buat bikin pagar," kata seorang warga yang tinggal di Jalan Magelang. Protes? "Percuma, Kami tidak mungkin akan menang. Lebih baik diam, biar orang luar yang meributkan," ujar tetangganya. Benar juga. Setelah hal itu diributkan di koran, Departemen Dalam Negeri turun tangan. "Seandainya benar, keputusan itu agak berlebihan. Apalagi kalau ditambah dengan unsur paksaan," kata juru bicara Departemen Dalam Negeri, Feisal Tamin. Maka, pada 1 April lalu suatu tim khusus Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Tengah yang mengatasnamakan pemerintah pusat tiba di Purworejo. Esoknya, Bupati Supantho mencabut SK 11 Februari dan mengeluarkan SK baru. Di situ tidak lagi tercantum keharusan menukar tanah ke dalam kampung, atau akan diperlakukan lain bagi yang menolak. Kini keharusan membuat pagar tembok setinggi 120 cm "diusahakan" selesai pada 17 Agustus 1984 tetap berlaku. Ditemui di kantornya pekan lalu, Bupati Supantho, 56, tampak tenang. "Sudah saya duga, SK itu akan menimbulkan reaksi," ucap kolonel purnawirawan itu. "Tujuan saya baik, menciptakan keindahan dan ketertiban," tambahnya. Bekas komandan Kodim Kebumen itu membantah, penduduk yang membangkang akan diperlakukan lain. Perlakuan itu, katanya, tidak menyangkut soal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban warga negara. "Yang saya maksud, bila misalnya terjadi pelanggaran, saya akan menyalahkan orang yang tidak punya pagar," ujarnya. Tentang ancaman menukar tanah bagi yang menolak, Pak Bupati juga membantah, "Itu hanya gertak saja. Tidak mungkin seorang kepala daerah akan menekan rakyatnya sendiri." Gagasan memagar Purworejo, katanya, bukan sekadar ide. Pihak Pemda telah mengeluarkan Rp 20 juta untuk membangun pagar sepanjang sekitar 3 kilometer sepanjang jalan ke arah Magelang "sebagai contoh". Bersebelahan, dibangun trotoar, yang konon telah menelan biaya Rp 50 juta. Purworejo, kabupaten dengan penduduk 700.000 ini memang sering menjadi berita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini