Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Gelisah

Akhir abad ke-20, harus cukup dengan pendapatan per kapita us$ 400, tak usah mengejar tarif lebih tinggi. teknologi luar yang lebih tinggi dapat diterapkan, tak menjamin yang lemah mewarisi bumi.

15 Agustus 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGSA-BANGSA bangkit dan merdeka, tapi dunia tetap sebuah oligarki. Dengan catatan: sebuah oligarki yang gelisah. Oligarki itu gelisah karena, untuk kepentingannya sendiri, negeri-negeri kaya harus menularkan selera dan standar hidup mereka ke negeri-negeri yang lebih miskin. Pada saat orang Indonesia, Arab dan Meksiko mau dan mampu membeli Mercedes dari Jerman dan pesawat video. dari Jepang, pasar negeri industri pun bisa mekar meriah. Dan bangsa-bangsa baru itu toh telah bangkit dan merdeka, lalu mereka merasa perlu sederajat dengan orang yang pernah menjajah mereka. Pada akhirnya, di bumi ini demokrasi pun secara formal dikukuhkan -- baik karena cita-cita luhur ataupun karena kepentingan pendek. Dengan itu, kian kuat pula legitimasi dari susunan dunia yang sekarang berlaku -- walaupun tata itu tak kunjung mampu melahirkan persamaan ekonomi antar-bangsa. Dengan penularan selera dan standar hidup, oligarki itu tak ingin nampak mau enak sendirian secara permanen. Tapi syahdan, kita dengan segera menyaksikan bukan saja suatu revolusi dari "the rising demands" -- revolusinya permintaan yang meningkat terus. Kita juga melihat apa yang okh seorang sosiolog disebut sebagai "the rising eneitlements" -- kian banyaknya rasa berhak menikmati barang dan fasilitas yang tersedia. Masalahnya: benarkah barang dan fasilitas itu selamanya akan tersedia cukup layak? Orang kian takut menghitung sumber-sumber yang menipis dan lingkungan yang jadi berantakan. Dan oligarki dalam susunan dunia itu gelisah. PERNAH ada masanya orang mencoba menjawab persoalan ini dengan sebuah dongeng. Ada anak raja berburu kehutan. Ia tersesat, kelaparan. Ia tiba di sebuah pondok petani miskin. Di sini si ibu tani menolongnya, dan menyajikan makanan yang ada padanya sehari-hari -- karena ia tak tahu bahwa tamunya adalah anak raja. Tapi betapa nikmatnya santapan itu bagi sang pangeran. Kemudian, setelah ia berhasil kembali ke istana, dan beristirahat beberapa hari, ia pun memesan hidangan gaya petani yang pernah dicicipinya dulu. Makanan itu dihadapkan, tapi sang pangeran tak mendapatkan rasa lezat yang dicari. Kenikmatan, dengan kata lain, tak datang pada orang yang kenyang. Ada sesuatu yang hilang daripadanya, sebagaimana ada sesuatu yang indah dalam hidup seadanya. Bacalah Ki Ageng Suryomentaram atau Ivan Illich. Petani di pondok dekat hutan itu berbahagia, lebih dari sang pengeran, karena ia tak mencari-cari. Maka suatu pemikiran pun dilontarkan, dengan melihat akhir abad ke-20 ini: kita harus bisa berbahagia dengan pendapatan per kapita US$ 400 -- karena mengejar-ngejar taraf yang lebih tinggi dari itu mustahil dan akhirnya toh tak menyebabkan kita puas. Dengan sikap itu, kita pun Insya Allah akan menggunakan sumber lokal yang murah, bukannya barang impor yang mahal. Kita akan memilih teknologi yang selaras. Kita akan memelihara lingkungan yang awet dan kita akan bisa menampung tenaga kerja yang banyak. Dan kita akan hidup tulus ikhlas seperti cita-cita Mahatma Gandhi. Tapi ada orang yang mengatakan, bahwa semua itu indah bila saja dunia luar tidak tiba-tiba memergoki kita dengan teknologi yang lebih tinggi. Sejarah, bagaimanapun juga, tak menjamin bahwa si lemah lembut akan mewarisi bumi: dalam The Third Wave Alvin Toffler mencemooh Gandhiisme itu sebagai cuma "selembar Band-Aid, bukan penyembuhan". Toffler perlu dikutip karena tawarannya yang menarik. Tahukah anda apa yang ditawarkannya? "Gelombang Ketiga," tentu saja suatu cara untuk tak mengikuti jejak negeri industri lama, tapi tetap memanfaatkan teknologi yang terbaru. Ia berbicara tentang gambaran "Gandhi, dengan satelit" dan ia menunjuk satu contoh dengan antusias: ketika Presiden Soeharto meresmikan penggunaan Satelit Komunikasi Palapa . . . Ah, Toffler. Bisa saja di tanggal 17 Agustus ini menghibur kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus