BANGSA-BANGSA bangkit dan merdeka, tapi dunia tetap sebuah
oligarki. Dengan catatan: sebuah oligarki yang gelisah.
Oligarki itu gelisah karena, untuk kepentingannya sendiri,
negeri-negeri kaya harus menularkan selera dan standar hidup
mereka ke negeri-negeri yang lebih miskin. Pada saat orang
Indonesia, Arab dan Meksiko mau dan mampu membeli Mercedes dari
Jerman dan pesawat video. dari Jepang, pasar negeri industri pun
bisa mekar meriah.
Dan bangsa-bangsa baru itu toh telah bangkit dan merdeka, lalu
mereka merasa perlu sederajat dengan orang yang pernah menjajah
mereka. Pada akhirnya, di bumi ini demokrasi pun secara formal
dikukuhkan -- baik karena cita-cita luhur ataupun karena
kepentingan pendek.
Dengan itu, kian kuat pula legitimasi dari susunan dunia yang
sekarang berlaku -- walaupun tata itu tak kunjung mampu
melahirkan persamaan ekonomi antar-bangsa. Dengan penularan
selera dan standar hidup, oligarki itu tak ingin nampak mau enak
sendirian secara permanen.
Tapi syahdan, kita dengan segera menyaksikan bukan saja suatu
revolusi dari "the rising demands" -- revolusinya permintaan
yang meningkat terus. Kita juga melihat apa yang okh seorang
sosiolog disebut sebagai "the rising eneitlements" -- kian
banyaknya rasa berhak menikmati barang dan fasilitas yang
tersedia.
Masalahnya: benarkah barang dan fasilitas itu selamanya akan
tersedia cukup layak?
Orang kian takut menghitung sumber-sumber yang menipis dan
lingkungan yang jadi berantakan. Dan oligarki dalam susunan
dunia itu gelisah.
PERNAH ada masanya orang mencoba menjawab persoalan ini dengan
sebuah dongeng. Ada anak raja berburu kehutan. Ia tersesat,
kelaparan. Ia tiba di sebuah pondok petani miskin. Di sini si
ibu tani menolongnya, dan menyajikan makanan yang ada padanya
sehari-hari -- karena ia tak tahu bahwa tamunya adalah anak
raja.
Tapi betapa nikmatnya santapan itu bagi sang pangeran. Kemudian,
setelah ia berhasil kembali ke istana, dan beristirahat beberapa
hari, ia pun memesan hidangan gaya petani yang pernah
dicicipinya dulu. Makanan itu dihadapkan, tapi sang pangeran tak
mendapatkan rasa lezat yang dicari.
Kenikmatan, dengan kata lain, tak datang pada orang yang
kenyang. Ada sesuatu yang hilang daripadanya, sebagaimana ada
sesuatu yang indah dalam hidup seadanya. Bacalah Ki Ageng
Suryomentaram atau Ivan Illich. Petani di pondok dekat hutan itu
berbahagia, lebih dari sang pengeran, karena ia tak
mencari-cari.
Maka suatu pemikiran pun dilontarkan, dengan melihat akhir abad
ke-20 ini: kita harus bisa berbahagia dengan pendapatan per
kapita US$ 400 -- karena mengejar-ngejar taraf yang lebih tinggi
dari itu mustahil dan akhirnya toh tak menyebabkan kita puas.
Dengan sikap itu, kita pun Insya Allah akan menggunakan sumber
lokal yang murah, bukannya barang impor yang mahal. Kita akan
memilih teknologi yang selaras. Kita akan memelihara lingkungan
yang awet dan kita akan bisa menampung tenaga kerja yang banyak.
Dan kita akan hidup tulus ikhlas seperti cita-cita Mahatma
Gandhi.
Tapi ada orang yang mengatakan, bahwa semua itu indah bila saja
dunia luar tidak tiba-tiba memergoki kita dengan teknologi yang
lebih tinggi. Sejarah, bagaimanapun juga, tak menjamin bahwa si
lemah lembut akan mewarisi bumi: dalam The Third Wave Alvin
Toffler mencemooh Gandhiisme itu sebagai cuma "selembar
Band-Aid, bukan penyembuhan".
Toffler perlu dikutip karena tawarannya yang menarik. Tahukah
anda apa yang ditawarkannya? "Gelombang Ketiga," tentu saja
suatu cara untuk tak mengikuti jejak negeri industri lama, tapi
tetap memanfaatkan teknologi yang terbaru. Ia berbicara tentang
gambaran "Gandhi, dengan satelit" dan ia menunjuk satu contoh
dengan antusias: ketika Presiden Soeharto meresmikan penggunaan
Satelit Komunikasi Palapa . . .
Ah, Toffler. Bisa saja di tanggal 17 Agustus ini menghibur kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini