17 Agustus lagi. Betapa banyak hal yang bisa disyukuri. Selama 36 tahun, negara kesatuan Indonesia tetap kokoh tegak berdiri. Rasa persatuan dan kesatuan nasional nampaknya masih cukup kuat untuk melewati banyak guncangan yang terjadi, antara lain Pemberontakan PKI 1948, DI/TII, Peristiwa PRRI/Permesta dan G30S/PKI. Pembangunan ekonomi yang kini menginjak Pelita III pun banyak diakui telah menampakkan hasil nyata -- meskipun banyak anak muda mungkin tak tahu bagaimana berbedanya masa lalu yang miskin dan banyak perang dengan masa kini. Tapi benarkah masa kini yang tenang dan lebih banyak barang ini cukup menenteramkan? Banyak yang merisaukan, bahwa persatuan dan kesatuan nasional kita ternyata tak setebal yang diperkirakan. Kerusuhan rasial anti-Cina yang masih saja terjadi menunjukkan masih kuat berakarnya semak-semak kekerasan yang gampang disulut dan dibakar. Kerusuhan sosial di Jawa Tengah akhir November 1980 juga memperkuat kekhawatiran: jurang sosial antara yang kaya dan miskin bisa menimbulkan ledakan yang bisa menenggelamkan. Begitu juga perbedaan suku dan agama. Jatuhnya puluhan korban dalam pertikaian akibat perkawinan (lari) antar agama (dan suku) di Sumbawa pada bulan November 1980 jga memberi indikasi masih rawannya hubungan antar agama dan suku ini. Tahun-tahun terakhir ini juga menunjukkan adanya perubahan hebat dalam nilai-nilai. Beberapa nilai dianggap mengalami erosi, antara lain disiplin nasional, rasa gotong-royong dan toleransi sosial. Nilai manakah yang dianggap penting untuk zaman sekarang? Terdorong oleh berbagai pertanyaan itulah Majalah TEMPO memutuskan untuk mengadakan suatu pengumpulan pendapat umum (poll). Poll ini dilaksanakan dengan tenaga sendiri pada bulan Juli lalu. Ini merupakan usaha untuk memonitor gerak pikir masyarakat Seribu kuestioner disebarkan ke seluruh Indonesia. Para responden -- yang kerahasiaan identitas mereka dijamin -- dipilih mereka para lulusan Sekolah Lanjutan Atas. Profesi mereka beraneka ragam mahasiswa, ibu rumah tangga, usahawan, karyawan, anggota ABRI, petani dan juga anggota DPR. Mereka diminta menjawab 14 pertanyaan. Caranya: memilih di antara beberapa jawaban yang tersedia dengan kemungkinan menambahkan pilihan sendiri. Hasilnya Hampir 88% dari responden mengisi daftar pertanyaan tersebut. Tapi bukannya tanpa kesulitan. Karena masalah komunikasi, jawaban dari Irian Jaya terlambat masuk pada waktunya. Kesulitan lain: untuk mengambil kesimpulan dari rekaman pandangan masyarakat ini ialah tidak adanya perbandingan dengan keadaan sebelumnya Hingga tidak bisa dipastikan apakah memang betul ada perubahan. Di samping itu, ada rasa takut. Sekalipun kerahasiaan responden dijamin, cukup banyak responden yang ragu-ragu menyebutkan identitas mereka. "Apakah data ini nanti tidak akan sampai ke tangan intel?" tanya seorang mahasiswa Bandung. Ia menolak mencantumkan namanya. Tapi umumnya sambutan terhadap poll ini menggembirakan. "Saya setuju sekali dengan penelitian seperti ini. Sekarang sulit sekali menaksir pendapat umum. Tidak ada orang yang berani bicara jujur. Jadi menebak pendapat umum sangat sulit," komentar seorang pengacara dari Sala. Hasil selengkapnya: PERSATUAN BANGSA Zaman pidato guna mengobarkan semangat persatuan tampaknya sudah berlalu. Ini terlihat dari kecilnya jumlah responden yang menganggap pembangkltan semangat oleh para pemimpin sekarang ini sebagai unsur yang besar peranannya dalam mewujudkan persatuan bangsa. Namun mungkin sekali peran para pemimpin di masa lalu besar sekali dalam menanamkan rasa persatuan dan kesadaran bangsa tersebut, hingga kesadaran itu telah dalam tertanam. Terbukti dengan adanya mayoritas responden yang menganggap kesadaran bersama sebagai bangsa sebagai unsur terpenting dalam mewujudkan persatuan. Anjloknya peran pemimpin agaknya seiring dengan mundurnya pengaruh organisasi politik dalam masyarakat kita. Hanya sekitar Z% responden yang menganggap organisasi politik besar peranannya dalam mewujudkan persatuan bangsa. Surutnya peranan organisasi politik itu lebih jelas pada jawaban pertanyaan: Apa yang besar peranannya dalam mempertahankan tegaknya negara ini? Lebih 6 3% respoden menyebut ABRI dan kurang dari 4% yang menyebut organisasi politik. "Organisasi politik terlalu membawa suara dan kepentingannya sendiri. Ini malah membahayakan tegaknya negara kita," kata Demdem Rochadar Sukada, seorang insinyur lulusan ITB yang kini bekerja di PLN. Yang menarik: para mahasiswa di Jakarta maupun daerah mengakui pentingnya peranan ABRl ini. Hasil pengumpulan pendapat TEMPO adalah: Unsur yang besar peranannya dalam mewujudkan persatuan bangsa. Kesadaran bersama sebagai bangsa48,8% Pendidikan sekolah 17,06% Perasaan senasib 9,44% Bahasa Indonesia 8,53% Organisasi politik 3,29% Unsur yang besar peranannya dalam mempertahankan tegaknya negara. ABRI 63,36% Lembaga keagamaan 11,49% Birokrasi pemeritahan8,07% Organisasi Politik 3,75% Faktor daerah rupanya mempengaruhi jawaban responen. Di Sulawesi Utara, 85% dari responden memilih ABRI, sedang di Sumatera Barat hanya 41,66%. Persentase pilihan tertinggi pada peran ABRI dicapai di Palembang dengan 91,3%. Kemungkinan timbulnya kerusuhan akibat adanya kepincangan sosial tampaknya dianggap bahaya terbesar bagi kelangsungan hidup kita sebagai satu negara. Itu terlihat dari jawaban atas pertanyaan: Apa yang merupakan bahaya terbesar bagi kelangsungan hidup kita sebagai suatu bangsa? Kerusuhan sosial antara kaya dan miskin 50,39% Pertikaian antar-penganut agama 30,37% Kerusuhan rasial 19,11% Menurut seorang responden dari Jakarta, kerusuhan rasial yang beberapa kali timbul, hanya "merupakan kedok kerusuhan sosial antara kaya dan miskin. " CARA MENGATASI PERPECAHAN Perpecahan bisa terjadi antar-kelompok agama, antar-suku ataupun antara penduduk pribumi dan nonpribumi. Berbagai cara dan upaya pernah diusulkan dan dicoba untuk mengatasi kemungkinan perpecahan ini. Misalnya lewat perkawinan dan pembauran tempat tinggal. Lembaga perkawinan tampaknya dianggap salah satu cara terbaik untuk mengatasi perpecahan antara penduduk pri dan nonpri serta antar-suku. Tapi cara ini dianggap bukan yang terbaik-bahkan ditentang keras -- untuk mengatasi perpecahan antar-kelompok agama. Dalam hal terakhir ini, pendapat dari kalangan Islam maupun Katolik umumnya sama: menentang perkawinan antar-agama. Keberatan di antara responden yang beragama Islam umumnya sama: menurut hukum Islam, wanita Islam tidak bisa dikawini oleh orang yang bukan seagama. Sedang keberatan kalangan Katolik nampaknya terwakili dalam pendapat Dr. Johannes Riberu, Sekretaris MAWI, "Perkawinan antar pemeluk agama bisa menimbulkan pertentangan psikologis antara suami istri, dan akhirnya akan menimbulkan pertentangan nilainilai agama yang agung." Namun di Bali, yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, perkawinan antar-agama diterima dengan tangan terbuka: 100% responden menyetujuinya. Daerah yang paling menentang keras Sumatera Barat yang kuat Islamnya: hanya 4,16% yang setuju. Yang menarik penataran P-4 ternyata dinilai cukup tinggi sebagai upaya mengatasi perpecahan antar-kelompok agama: "Meskipun ada efek sampingannya, lewat P-4 orang akan menemukan kesadaran sebagai suatu bangsa," komentar seorang respoden dari Jakarta. Hasil poll TEMPO: Cara terbaik untuk mengatasi perpecahan antar-agama. Semangat toleransi dalam khotbah dan pendidikan agama 53,35% Penataran P-4 15% Perkawillan (selama itu dimungkinkan oleh agama) 12,62% Pembauran tempat tingga 16,71% Cara terbaik untuk mengatasi perpecahan antara pri dan nonpri. Perkawinan 25,36% Menghindari pameran kekayaan 25% Pembauran tempat tinggal 11,26% Partnership dalam usaha perdagangan 9,44% Persamaan agama 9,21% Cara terbaik untuk mengatasiperpecahan antar-suku, Menghindari pengelompokan kesukuan36,29% Penggunaan bahasa Inonesia 25,93% Perkawinan 24,11% Jika ini menyangkut keluarga anda apakah anda setuju? YA Perkawinan antar-agama 36,4% Perkawina antar-suku 88, 5% Perkawinan antar-ras72,69% TIDAK Perkawinan antar-agama 48,46% Perkawinan antar-suku 3,9% Perkawinan antar-ras 10,92% Dalam usaha pembauran bangsa, sejak Desember 1966 digalakkan pergantian nama warga nonpri ke nama Indonesia. Langkah ini ternyata dianggap sebagian besar responden kurang membantu pembauran. Sebagian malah menganggapnya kesalahan. Pendapat lain: "Biarlah nama mereka tetap, tapi bersedialah berbaur. Jangan seperti sekarang, nama Indonesia hanya dibikin sebagai topeng," kata Prof. Ny. Anni Abbas Manoppo, pengacara dari Medan . Jawaban para responden TEMPO, atas pertanyaan: Apa pendapat anda tentang peranan penggantian nama warga nonpri dalam pembauran bangsa? Mengacaukan latar belakang warga yang bersangkutan 36,17% Membantu pembauran 25,93% Kurang membantu 25,93% Sangat membantu 11,6% Merusakkan persatuan bangsa 7,73% PEMERATAAN Pemerataan juga penting untuk memelihara kerukunan nasional. Mulai Pelita III pemerintah mengembangkan usaha pemerataan melalui delapan jalur utama. Dua jalur dianggap para responden paling berhasil: pemenuhan kebutuhan pokok dan penyebaran pembangunan ke daerah. Yang dianggap paling kurang berhasil rupanya jalur kesempatan memperoleh keadilan dan pembagian pendapatan. Namun ada beberapa responden yang tegas menganggap belum ada satu pun jalur pemerataan yang berhasil. "Masih banyak orang yang lapar. Masih banyak anak yang tidak bersekolah," kata seorang dosen dari Sumatera Utara. Dari 8 jalur pemeraaan, mana yang paling berhasil? Pemenuhan kebutuhan pokok 37,08% Penyebaran pembangunan ke daerah 23 ,54% Pendidikan & Kesehatan 12,85% Partisipasi dalam pembangunan 10,69% Kesempatan berusaha 5,46% Kesempatan bekerja 4,77% Kesempatan memperoleh keadilan 2,61% Pembagian pendapatan 1,25% PERUBAHAN NILAI Gotong royong sering disebut sebagai salah satu yang khas Indonesia. Nilai ini rupanya dianggap penting untuk dipertahankan. Hampir sepertiga responden yang ditanya memilihnya sebagai nilai yang penting untuk zaman sekarang. Yang menyolok: wiraswasta, yang baru dipopulerkan beberapa tahun terakhir ini, ternyata menempati urutan kedua di mata para responden. "Dengan wiraswasta kita bisa menjadi tuan di negeri sendiri. Keuletan pribadi dalam wiraswasta dicambuk. Tak bisa kita hanya mengandalkan pemerintah atau swasta saja dalam hal pekerjaan," ujar seorang responden dari Jakarta. Pendapat para responden: Nilai yang penting untuk zaman sekarang Gotong-royong 31,28% Wiraswasta 28,66% Selaras dengan lingkungan 23,89% Prihatin 16,49% Berambisi tinggi 3,98% Hidup senang 1,47% Seorang responden yang memilih "berambisi tinggi" sebagai nilai yang dianggapnya terpenting, mengajukan alasan "Tidak ada salahnya mempunyai cita-cita tinggi, asal dibarengi dengan intelektualitas". Anggapan selama ini bahwa kesetiaan pada bangsa merupakan nilai kesetiaan yang tertinggi pada bangsa Indonesia belum tentu benar. Seperti tercermin dalam jawaban dalam pengumpulan pendapat ini, kesetiaan pada keluarga ternyata menempati urutan tertinggi (46,98%). Baru setelah itu kesetiaan pada bangsa. Di Aceh, 86,36% responden menumpahkan kesetiaannya pada keluarga. Salah satu contoh alasan: "Keluargalah yang memberi kasih sayang. Karena itu saya merasa perlu berbakti dan membalas budi pada keluarga," kata seorang responden. Kesetiaan pada pemerintah dan juga pada pemimpin rupanya ditempatkan jauh di bawah kesetiaan pada keluarga dan bangsa. Keduanya hanya memperoleh 3,07% dan 2,84%. Jawahan atas pertanyaan: Jika harus memilih, kepada siapakah anda akan menumpahkan kesetiaan anda? Keluarga 46,98% Bangsa 36,51% Agama 5% Pemerintah 3,07% Pemimpin 2,84%
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini