Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Gus Sholah dan Darurat Pengendalian Tembakau

Solahudin Wahid alias Gus Sholah baru saja berpulang pada Ahad, 2 Februari lalu.

10 Februari 2020 | 00.00 WIB

Gus Sholah dan Darurat Pengendalian Tembakau
Perbesar
Gus Sholah dan Darurat Pengendalian Tembakau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Solahudin Wahid alias Gus Sholah baru saja berpulang pada Ahad, 2 Februari lalu. Bukan hanya kalangan Nahdliyin, sebutan bagi anggota Nahdlatul Ulama (NU), dan umat Islam secara keseluruhan, tapi juga bangsa Indonesia kehilangan atas berpulangnya beliau. Gus Sholah adalah tokoh muslim yang multi-talenta. Bukan hanya tokoh agama, dia juga tokoh hak asasi manusia dan tokoh yang bisa diterima semua golongan dan lintas agama. Di Indonesia, tidak banyak tokoh agama dan bahkan tokoh publik yang bisa diterima oleh semua golongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Namun ada ketokohan beliau yang belum terdeteksi oleh masyarakat, yakni Gus Sholah sebagai tokoh dalam pengendalian tembakau. Dialah yang mencanangkan pesantrennya, Tebu Ireng, sebagai pesantren yang bebas asap rokok dan melarang para santri untuk merokok. Konon inilah pesantren pertama di Indonesia yang mencanangkan diri sebagai area bebas asap rokok.

Gus Sholah juga menyerukan agar remaja Indonesia tidak terjebak pada konsumsi rokok yang sangat adiktif. Adik Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini juga berkolaborasi dengan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau untuk bersama-sama menolak Rancangan Undang-Undang Pertembakauan, yang sempat menguat di Dewan Perwakilan Rakyat. Kini rancangan itu tampak mati suri.

Apa yang dilakukan Gus Sholah sejatinya hal yang biasa. Namun, hal itu menjadi tidak biasa manakala melihat budaya yang melingkupinya, baik dalam konteks pesantren maupun elite NU. Merokok di kalangan pesantren dan kiai tampak menjadi hal yang lazim sehingga para kiai dan santri sering dijuluki sebagai "ahli hisap" alias ahli mengisap asap rokok. Budaya merokok di kalangan santri dan kiai sangatlah kuat dan bahkan banyak pesantren yang mendapat dukungan dari industri rokok. NU pun tampak sangat akomodatif dengan masalah tembakau dan kepentingan industri rokok. Sementara Muhammadiyah dengan gagah berani mengeluarkan fatwa haram terhadap rokok, NU hanya sebatas makruh.

Secara nasional, apa yang dilakukan Gus Sholah mempunyai nilai strategis. Saat ini konsumsi tembakau telah menjadi wabah bagi masyarakat. Tidak kurang dari 35 persen penduduk Indonesia adalah perokok aktif, yang menduduki peringkat ketiga tertinggi di dunia setelah Cina dan India. Dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Belum lagi masyarakat yang menjadi korban sebagai perokok pasif, yang jumlahnya tak kurang dari 70 persen, khususnya yang menjadi korban asap rokok di tempat-tempat umum. Tragisnya, yang menjadi korban utama adalah kalangan anak-anak dan remaja, yang memang menjadi target utama industri rokok.

Saat ini pertumbuhan dan prevalensi merokok di kalangan anak dan remaja Indonesia merupakan yang tercepat di dunia, yakni 19,4 persen. Maka jangan heran jika saat ini di Indonesia terjadi fenomena baby smoker-hal yang tidak terjadi di belahan dunia yang lain. Promosi dan iklan industri rokok semakin masif dan lokasinya pun dekat dengan sekolah dasar dan sekolah menengah. Dengan demikian, hal yang sangat urgen jika Gus Sholah menyerukan agar anak-anak dan remaja menjauhi rokok.

Berikutnya, terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan. Ini sebuah rancangan yang 100 persen diusung oleh industri rokok sejak lima tahun lalu. Karena diinisiasi oleh industri rokok, isinya pun sangat kental mengusung kepentingan ekonomi industri rokok. Bahkan substansi rancangan itu pun akan mengamputasi pasal-pasal pengendalian tembakau di bidang kesehatan. Ia bahkan akan merontokkan beberapa undang-undang yang dianggap berlawanan dengannya.

Rancangan Undang-Undang Pertembakauan menjadi antitesis terhadap regulasi pengendalian tembakau, baik pada skala nasional maupun internasional. Ini merupakan antitesis terhadap Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) yang sudah diratifikasi oleh 195 negara. FCTC sudah menjadi hukum internasional sejak 2007 tapi Indonesia masih bergeming. Maka, sikap politik Gus Sholah yang menolak rancangan itu adalah sikap yang amat mulia.

Kepergian Gus Sholah meninggalkan pesan serius baik bagi masyarakat dan terutama pemerintah. Tingkat kecanduan tembakau masyarakat Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan bahkan darurat. Dampak konsumsi tembakau ini bukan saja menurunkan kualitas kesehatan masyarakat, tapi juga sosial-ekonominya, khususnya di rumah tangga miskin. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia justru mengalami peningkatan signifikan dibanding hasil riset serupa pada 2013.

Konsumsi rokok menjadi faktor utama dalam melambungnya tingkat prevalensi penyakit tidak menular. Fenomena finansial bleeding pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan terus langgeng jika tren ini tidak turun. Sebesar apa pun suntikan dana dan kenaikan iuran tak akan mampu menyelamatkan BPJS Kesehatan.

Karena itu, perlu intervensi yang sangat kuat dari pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya pada kelompok rentan, yakni anak-anak, remaja, dan rumah tangga miskin. Semoga semangat Gus Sholah dalam pengendalian tembakau menjadi warisan bagi generasi muda, masyarakat, tokoh agama, organisasi massa keagamaan, pemerintah, dan siapa pun.

 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus