Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Habib

Husein Ja’far Al Hadar*

22 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Habib

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata “habib” menjadi populer. Perlu ada uraian dengan pendekatan linguistik terhadap istilah ini sebagai salah satu identitas keragaman kultural di Indonesia.

Ada sejumlah kata yang dipakai untuk keturunan Arab di Indonesia. Salah satunya “sayid”. Sayyid dalam kosakata bahasa Arab adalah kata benda yang berarti “tuan”, seperti “pak” dalam bahasa Indonesia dan “sir” dalam bahasa Inggris. Adapun dalam bahasa Jawa, kata yang persis adalah “gus”, yakni panggilan penghormatan bagi keturunan kiai, khususnya dalam tradisi Nahdlatul Ulama, walaupun panggilan ini telah ada sebelumnya. Sedangkan “sayid” adalah keturunan Nabi Muhammad. Ia bawaan sejak lahir sebagai penghormatan kepada garis keturunannya.

Panggilan tersebut populer di dunia Islam: Persia, India, Turki, dan lain-lain, dengan dialek yang disesuaikan. Di Indonesia sendiri, ia telah ada sejak masuknya Islam pertama melalui Kerajaan Perlak pada 840 dengan adanya sosok Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj dan menjadi sangat populer setelah diaspora sayid Hadramaut ke Indonesia sejak abad ke-19. Kini di luar Jawa masih digunakan julukan “sayid” di bagian awal nama seorang keturunan Nabi. Adapun di Jawa ia biasanya ditandai dengan nama marga di belakang nama seorang sayid: “Shihab”, “Habsyi”, dan lain-lain.

Adapun “habib” adalah kata benda yang mengacu pada orang (isim fa’il) dengan makna muhibbun, yang artinya “orang yang mencintai”, dan juga mahbubun, yang berarti “orang yang dicintai”. Lebih jauh lagi, secara morfologi (sharf), posisi kata “habib” adalah shifah musyabbahah, yakni menunjukkan sifat yang melekat permanen, baik sebagai subyek maupun obyek: “pencinta” atau “tercinta”, seperti kata “rahim” yang menunjukkan melekatnya sifat rahmat pada yang bersangkutan. Dalam konteks habib, “cinta” menjadi kata kunci yang harus melekat permanen dan mendasari setiap perbuatannya.

“Cinta” dan “akhlak” memang menjadi inti ajaran tasawuf yang dibawa kalangan habib ke Indonesia dalam penyebaran Islamnya. Ajaran itu termuat dalam Thariqah Alawiyah, yakni tarekat tasawuf yang berbasis pada tasawuf akhlaki: jalan spiritual-etik—sesuatu yang berkembang dalam tradisi Islam Indonesia, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama. Salah satu corak utamanya adalah damai (rahmat), yang dalam Thariqah Alawiyah telah diletakkan fondasinya dengan simbol pematahan pedang oleh Imam Faqih al-Muqaddam (founding father Thariqah Alawiyah) di zamannya (pertengahan abad ke-7).

Karena itu, seperti ditegaskan Habib Zein bin Smith selaku Ketua Umum Rabithah Alawiyah (lembaga yang berfokus menjaga catatan nasab atau keturunan Nabi di Indonesia), kita harus bisa memilah antara sayid dan habib. Habib adalah gelar kehormatan kepada sayid yang memiliki kapasitas spiritualitas, keilmuan, dan akhlak sehingga mampu membangun relasi mencintai-dicintai dengan umat Islam serta umat manusia umumnya.

Lantaran relasinya timbal-balik: mencintai dan dicintai, secara bahasa, gelar kehormatannya pun tidak hanya pada sisi habib, tapi juga pada nonhabib. Karena itu, dalam tradisi habib, mereka memberi dan memanggil nonhabib dengan gelar kehormatan pula, yakni syaikh (yang ber-arti “sesepuh”, “guru”) kepada warga keturunan Arab nonhabib dan akhwal (jamak dari kata dalam bahasa Arab, khal, yang berarti “paman”) bagi pribumi.

Secara historis, “syekh” adalah gelar yang diberikan untuk keturunan Arab nonhabib yang menjadi sesepuh atau guru dan “khal” bagi pribumi yang dinikahi habib, sehingga anak mereka menjadi keponakan orang pribumi dan memanggil saudara-saudara ibunya sebagai paman. Namun, secara kultural, keduanya kemudian menjadi gelar kehormatan yang disematkan kepada semua keturunan Arab nonhabib dan pribumi, meskipun bukan lagi menjadi guru dan bukan paman dari habib.

Begitu pula “sayid” kian menjadi panggilan kehormatan dalam relasi timbal balik tersebut. Ia sebagai penghormatan kepada darah Nabi yang mengalir di tubuh seorang sayid, sekaligus atas jasa para sayid dalam penyebaran Islam dan perjuangan Indonesia. Ini adalah bagian dari kultur apresiatif, ramah, dan persaudaraan masyarakat kita yang bukan berarti melegitimasi sikap yang menyimpang, tapi justru buat “mendikte” kesadaran masing-masing untuk taat pada nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan sekaligus.

Relasi kultural berbasis cinta yang telah berusia berabad-abad dan terasa manfaatnya bagi kemajuan Indonesia dan Islamnya tersebut perlu dijaga di tengah hiruk-pikuk politik identitas saat ini—agar pragmatisme politik identitas sesaat tak meruntuhkan identitas kultural kita yang sejati.

*) Direktur Cultural Islamic Academy Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus