Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
the worst
thing that ever happened
to
the world
was
the white man coming across gun powder.
—the end of the world | the beginning of white supremacy
—Nayyirah Waheed, Salt
Kita ingat “Friday”, lelaki muda berkulit cokelat gelap yang diselamatkan Robinson Crusoe dari pembunuhan—ya, Robinson Crusoe yang termasyhur dalam novel Daniel Defoe itu, seorang kulit-putih yang terdampar di sebuah pulau dekat Trinidad, yang selama 28 tahun, dengan ambisi dan energi seorang borjuis Inggris, mengubah pulau tanpa penghuni jadi sebuah koloni yang senyap tapi ekonominya tumbuh, pertanian dan peternakannya melimpah, yang membuatnya selamat, sejahtera, mandiri, berkuasa.
Kita ingat Si Jumat. Nasibnya sebuah contoh, bagaimana ia, si kulit-tidak-putih, dijinakkan, bagian dari alam yang ditaklukkan dunia modern. Novel yang terbit di tahun 1719 itu dimaksudkan sebagai kisah petualangan; tapi di abad ke-21, kita membacanya sebagai kisah kolonialisme.
Pada suatu hari, setelah hidup menyendiri selama lebih dari seperempat abad di pulau itu, Robinson Crusoe melihat di pantai seseorang diburu musuh-musuhnya untuk dibunuh dan dimakan. Di saat itu ia berpikir ada kesempatan: kali ini ia bisa mendapatkan budak, pelayan, dan teman. Ia pun dengan sigap mengintervensi. Orang-orang yang memburu ia lumpuhkan. Yang diburu, merasa diselamatkan, menyembah:
“...ia tunduk berlutut..., mencium bumi, dan meletakkan kepalanya di tanah, dan meraih tungkai kakiku, dan meletakkannya di atas ubun-ubunnya; ini, tampaknya, sebuah tanda ia bersumpah akan jadi budakku selama-lamanya.”
Budak. Crusoe mengharuskan orang-bukan-berkulit-putih itu memanggilnya “Paduka”, “Master”. Nama “Friday” diberlakukannya berdasarkan pilihan waktu yang asing bagi si anak muda, yang biasa hidup tanpa indeks hari. Beberapa kali sang “Paduka” menyebut namanya dengan tambahan “My man Friday”; hubungan di antara mereka dikukuhkan sebagai milik dengan pemilik.
Dan milik itu makin dibuat sesuai dengan citra diri sang pemilik. Si Jumat diubah. Sejak ia jadi budak Crusoe, sembahannya adalah Tuhan Nasrani, bahasanya adalah bahasa Inggris. Dan ia berhenti makan daging manusia.
Di abad ke-18 pembacanya di Eropa akan menganggap semua itu seru. Tapi sekarang, Susan Arndt, penelaah sastra Inggris dan kebudayaan Afrika, yang menulis Rassismus, Die 101 wichtigsten Fragen (“Rasisme, 101 Pertanyaan Paling Penting”), melihat dalam novel Defoe ini “stereotipe rasis” yang telah berkembang di Eropa sejak zaman kuno. Dalam stereotipe ini, kata Arndt, “hanya orang kulit-putih yang manusia dan sebab itu punya wewenang untuk memperbudak orang lain… dan orang kulit-hitam tak punya ide tentang kebebasan.”
Tapi tidak adil jika kita menilai Robinson Crusoe karya seorang bigot. Di satu bagian, kita bisa baca Robinson mengecam perlakuan orang Spanyol terhadap orang Indian di Amerika Selatan sebagai “secercah Kekejaman yang penuh darah dan tak lumrah, yang tak bisa dihalalkan di mata Tuhan atau manusia”.
Dalam dirinya tampaknya ada paradoks: Crusoe memperlakukan “si-kulit-tak-putih” bukan makhluk di luar sifat-sifat yang “universal”—dan itu sebabnya ia ingin mempertegasnya dengan “pendidikan”. Ia melihat Si Jumat orang yang setia, pengabdi yang tahu membalas budi, contoh bagaimana Tuhan (Crusoe sangat percaya kepada Tuhan) memberi manusia “kekuatan yang sama, akal budi yang sama, afeksi yang sama, perasaan yang sama untuk kebaikan hati dan tanggung jawab, kegundahan yang sama dan ketaksukaan yang sama terhadap apa yang salah…”.
Yang tak terjawab dari Defoe: seraya ia melihat persamaan itu, mengapa ia tak menggugat—bahkan sebaliknya: memanfaatkan—ketidaksetaraan?
Kisah fiksi, sebagaimana sikap dan perilaku, punya kandungan yang tak selamanya disadari. Arndt berlebihan mengecam novel Defoe, tapi ia tak meleset untuk melihat sang penulis sebagai waris “stereotipe rasis” yang berkembang di Eropa yang tak jelas kapan bermulanya dan mengapa.
Dalam stereotipe ini, yang “putih”—juga warna kulit—menandai “kecantikan”, “kemurnian”, “kebaikan”. Yesus, dalam lukisan-lukisan Eropa, berkulit cerah, meskipun bukan mustahil, seperti yang dicoba direkonstruksi para pakar antropologi forensik di tahun 2015,wajahnya yang sebenarnya lebih gelap, seperti kebanyakan orang Yahudi di zamannya. Di zaman Ratu Elizabeth di Inggris abad ke-16, paras pucat pasi seperti Sri Ratu dianggap sebagai tanda kecantikan. Seorang pakar antropologi Jerman pernah dikutip mengatakan bahwa orang kulit-putih disebut “ras Kaukasia”, karena dari Pegunungan Kaukasia di sekitar Laut Kaspia lahir bangsa yang “paling rupawan”.
Stereotipe Eropa ini, sebagaimana konsep “ras”, meskipun salah, tak kunjung mati. Hari ini perjumpaan manusia yang beraneka ragam malah menimbulkan paranoia dan rasa terancam, dan narasi tentang white supremacy—keunggulan si kulit-putih—menunjukkan akarnya yang keras. Kadang-kadang disamarkan, kadang-kadang diteriakkan, kadang-kadang dengan pembunuhan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo