Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mesti berhati-hati dalam membeli Sukhoi Su-35 Flanker. Kalaupun jet tempur buatan Rusia itu jadi dipilih, proses pembelian oleh Kementerian Pertahanan harus diawasi ketat. Jangan sampai terjadi permainan calo dan pembengkakan anggaran. Maka mesti dipastikan proses ini bisa diaudit. Janganlah pembelian dipaksakan selama prosedurnya belum jelas. Apalagi Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Rusia dua pekan lalu masih belum mau menandatangani kontrak pembelian.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menjelang keberangkatan Jokowi mengatakan kepada media bahwa Indonesia pasti membeli delapan Su-35. Jet tempur ini akan menggantikan jet buru sergap F-5 Tiger milik Angkatan Udara yang sudah uzur. Menurut Ryamizard, sistem avionik Su-35 bahkan lebih canggih daripada pesawat tempur siluman generasi kelima F-22 Raptor buatan Amerika Serikat.
Transparansi pembelian makin penting karena harga pesawat yang diajukan sangat mahal. Laksamana Muda TNI Leonardi, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, menyebutkan harga satu unit Sukhoi lengkap dengan sistem senjatanya sekitar US$ 100 juta (Rp 1,36 triliun). Angka ini jauh lebih tinggi dibanding harga yang diinformasikan di beberapa situs pertahanan, yang menyebut kisaran US$ 50-70 juta.
Ketidakjelasan transparansi pembelian, plus tingginya harga yang diusulkan, semestinya membuat kita hati-hati. Masih hangat dalam ingatan, pada 2012 terjadi keributan tentang markup pembelian enam pesawat Sukhoi Su-30. Saat itu, proyek pembelian Sukhoi oleh Kementerian Pertahanan, dari penganggaran, negosiasi, kontrak, hingga pelaksanaan, sangat tertutup. Pembelian tidak menggunakan skema kredit negara. Transaksi pun harus melalui PT Trimarga Rekatama, agen JSC Rosoboronexport selaku BUMN Rusia pemegang monopoli penjualan Sukhoi. Walhasil, harga melejit.
Pembelian Sukhoi 35 juga harus menaati ketentuan faktor alih teknologi dan local content. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang mekanisme imbal dagang dalam pengadaan alat pertahanan dan keamanan dari luar negeri, pemerintah berhak menerima lisensi pembuatan sebagian komponen untuk diproduksi di dalam negeri. Selain itu, pemerintah berhak merakit, merancang, dan memodifikasi pesawat yang dibeli.
Kita bisa mencontoh pengalaman India. Ketika negara itu hendak meremajakan jet tempurnya, penawaran berlangsung terbuka. Semua pabrikan berhak mengajukan proposal. Akhirnya India membeli 178 jet Dassault Rafale dari Prancis. Ini pun dengan kesepakatan bahwa sebagian besar pesawat dibuat di India-hanya 28 unit dikerjakan di Prancis. Seluruh proses itu diungkap ke publik.
Keterbukaan itu tidak terlihat dalam rencana pembelian Sukhoi 35. Kementerian Pertahanan hanya berkali-kali menyebutkan, jika jet canggih ini kita miliki, negara tetangga akan "keder". Tidak ada penjelasan bagaimana proses pembelian atau transfer teknologi berlangsung. Kita juga tak tahu apakah penerbang dan teknisi TNI Angkatan Udara siap mengoperasikan jet tempur itu.
Media Rusia menyebutkan, kalaupun Indonesia jadi membeli, pesawat tidak bisa dikirim sebelum 2018. Alasannya, Komsomolsk-na-Amure Aircraft Production Association, pabrik pembuat Sukhoi, tengah kelebihan permintaan. Sesungguhnya ini peluang bagi Indonesia. Sisa waktu yang ada bisa digunakan untuk menyusun ulang proses negosiasi. Seluruh proses harus berlangsung terbuka. Jangan beri peluang kongkalikong kembali terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo