Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPURUK sudah dunia peradilan. Dari tingkat paling bawah sampai ke pucuk. Mahkamah Agung sebagai penyandang peradilan tertinggi di negeri ini sudah dipenuhi mafia. Komisi Pemberantasan Korupsi kini sedang sibuk dengan kasus penyuapan yang melibatkan staf di MA, bahkan tak mustahil terlibat pula Sekretaris MA.
Kalau Mahkamah Agung yang punya fungsi pengawasan itu membiarkan stafnya terlibat dalam kasus permainan perkara dan ditangkap tangan, tentu benar apa kata pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Kasus "murid kencing berlari" itu contohnya Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba, yang tertangkap tangan KPK pekan lalu. Bersama koleganya, Toton, hakim ini menerima uang Rp 150 juta. Masih ada lagi uang suap Rp 500 juta yang ditemukan KPK di kantor Janner ketika ruangannya digeledah.
Janner Purba adalah ketua majelis hakim yang menangani perkara korupsi honor Dewan Pembina Rumah Sakit Umum Daerah Bengkulu. Kasus yang diduga merugikan negara Rp 5,4 miliar itu disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu. Bersama kedua hakim itu ditangkap pula Amsori Bachsin, panitera di Pengadilan Negeri Kepahiang. Penyuap yang ditangkap adalah mantan Wakil Direktur Utama dan Keuangan RSUD Bengkulu Edi Santroni serta mantan Kepala Bagian Keuangan RSUD Bengkulu Syafri Syafii.
Hakim tak ada kapoknya "menjual perkara". Menurut catatan Komisi Yudisial, sejak Januari lalu, sudah sebelas aparat pengadilan ditangkap KPK. Delapan orang adalah hakim, sementara sisanya pejabat pengadilan seperti panitera dan anggota staf administrasi. Juru bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, menyebut angka kejahatan ini lebih besar dari tahun-tahun lalu.
Hakim dalam tugasnya harus menegakkan keadilan dan kebenaran, menghukum orang yang bersalah dan membenarkan orang yang tak bersalah. Hakim tak hanya bertanggung jawab kepada pihak-pihak yang beperkara dan menjadi tumpuan harapan pencari keadilan, tapi juga mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan. Amar putusan hakim selalu didahului kalimat: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Hanya hakim-selain tamu negara-yang menyandang sebutan "Yang Mulia", bahkan presiden pun tidak.
Kok, pengadil yang mulia dan membawa nama Tuhan justru menabrak hukum? Dilihat dari nafkah, gaji hakim sudah tinggi jika dibandingkan dengan pegawai negeri lain. Sejak awal 2013, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012, take home pay hakim dengan masa kerja nol tahun di pengadilan paling rendah (kelas I-A khusus) mencapai Rp 14 juta. Penghasilan meningkat seiring dengan karier, hingga bisa mendapat take home pay Rp 45 juta. Gaji hakim di pengadilan tinggi tentu lebih besar. Mau tahu gaji hakim agung? Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2014, gaji Ketua Mahkamah Agung mencapai Rp 121 juta dan hakim agung Rp 72 juta. Gaji para hakim sudah setara dengan gaji pegawai negeri sipil di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.
Salah satu penyebab hakim tak kapok-kapok "menjual perkara" adalah pengawasan yang sangat kendur. Telunjuk pun mengarah ke Mahkamah Agung sebagai pengawas yang tak becus. Jangankan mengawasi dan menghukum hakim pada tingkat terendah, terhadap hakim agung yang jelas-jelas bersalah saja Ketua Mahkamah Agung cuma memberi hukuman "pindah kamar". Dengan pengawasan yang kendur ini, kepercayaan publik terhadap hakim makin rendah. Jadi, kalau mau mendongkrak citra peradilan yang terpuruk, pembenahan harus dilakukan menyeluruh, dari paling atas, Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo