Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hilang Lahan di Tangan Asing

Persekongkolan calon pembeli, calo lokal, dan notaris melahirkan kepemilikan tanah yang timpang. Menggunakan jasa "nomine".

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH sebetulnya tak pernah serius menghentikan praktek pembelian lahan di Nusantara oleh warga asing. Lemahnya koordinasi antara lembaga-lembaga Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal pada akhirnya membuat yang mustahil menjadi mungkin: warga negara asing menguasai lahan di sejumlah pulau Nusantara.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria melarang warga negara asing memiliki tanah di Indonesia. Orang atau badan hukum asing, menurut pasal 43 undang-undang itu, hanya boleh mendapatkan hak pakai. Itu pun tak boleh lebih dari 5.000 meter persegi bagi perorangan. Hak atas tanah yang lebih luas bisa diperoleh melalui perusahaan penanaman modal asing dengan syarat melakukan investasi di atas lahan tersebut. Namun, dalam prakteknya, selama lebih dari satu dasawarsa ratusan pelanggaran berlangsung tepat di depan mata aparatur lembaga-lembaga negara itu.

Dulu kolonialisme berawal dari kedatangan orang-orang asing untuk mendapatkan rempah-rempah di negeri Timur, sesuatu yang kemudian berujung pada penguasaan tanah—alias penjajahan. Sekarang orang-orang asing yang berbeda mengajukan ketertarikan melakukan investasi, tapi dalam perkembangannya langkah mereka berhenti pada titik yang sama: penguasaan lahan.

Di Nusa Tenggara Barat, sebagian "investor" ini menggunakan jasa "nomine", penduduk lokal yang dipakai namanya dalam pembuatan sertifikat, untuk mengakali syarat penguasaan tanah. Ironis sekali pemandangan sehari-hari ini mesti terjadi, tanpa penyelesaian tuntas. BKPM menerima laporan bisnis perusahaan penanaman modal asing yang mandek, KLH mengetahui adanya pemilikan baru atas tanah hutan lindung, tapi BPN tidak bisa menghambat penerbitan sertifikat yang diajukan oleh warga lokal yang menguasai tanah secara de facto. "Kerja sama haram" pembeli tanah, calo lokal, dan notaris yang sudah berlangsung lama ini melahirkan komposisi penguasaan tanah yang mengerikan. Seorang kepala desa di Nusa Tenggara Barat mengatakan sepertiga luas tanah wilayah desanya telah dikuasai warga negara asing.

Kalau sudah begini, demi kepentingan yang lebih besar, tak ada jalan selain lembaga-lembaga itu melupakan kepentingan sektoral, seraya menyelaraskan langkah bersama untuk menghambat laju berpindahnya tanah ke tangan warga negara asing. Patut dicatat, bukan karena sikap antiasing yang sempit bila sejumlah orang mendesak pemerintah menghentikan praktek ilegal ini.

Privatisasi yang berlangsung di negeri ini telah bergerak ke arah yang salah jika terlalu banyak lahan yang sebelumnya merupakan ruang publik menjadi milik perorangan yang tak menimbulkan manfaat bagi orang lain. Tentu hanya pemerintah pusat dan daerah yang sanggup menghadapi kekuatan besar ini. Pemerintah harus menjalankan apa yang diamanatkan dalam Pasal 21 Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di atas.

Praktek ilegal itu terjadi di Pulau Simaleke di Nias Selatan, Pulau Macaroni dan Pulau Kandui di Mentawai, sejumlah pulau di Kepulauan Riau, dan masih banyak lagi. Kita memang hidup di sebuah negara yang sibuk oleh politik elite, sehingga hal-hal yang berada di luar lingkaran itu tak penting atau setengah penting. Namun kali ini tidak ada waktu lagi, pemerintah harus membayar "utang" yang telah lama ditunggak: koordinasi antarlembaga pemerintah untuk mengakhiri kejahatan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus