Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARIER politik Setya Novanto bisa mengundang decak kagum. Dari sekadar penenteng koper seorang tokoh Golkar, dia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ketua fraksi sekaligus bendahara Partai Golkar, lalu menjadi Ketua DPR. Setya tampaknya mafhum bagaimana meniti karier. Ia tahu kapan harus mengabdi, melobi, menyenangkan kawan dan lawan politik, ataupun membagi "rezeki" kepada sesama politikus. Ia adalah prototipe dari politikus zaman ini, zaman ketika politik ditulis dengan "p" kecil, politik sebagai cara kotor memperebutkan kekuasaan—bukan upaya mencapai kebajikan orang ramai.
Merantau dari Bandung, Setya tumbuh menjadi pengusaha sekaligus politikus. Saat ini, pria 60 tahun itu disebut-sebut memiliki tak kurang dari 14 perusahaan—terbentang dari properti hingga kafetaria. Harta kekayaannya pada 2009 tercatat Rp 73,79 miliar dan US$ 17.781—melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding delapan tahun sebelumnya.
Ketika Presiden Soeharto berada di puncak kekuasaan, ia mempersembahkan kepada penguasa Orde Baru ini hal yang saat itu mungkin tak terpikirkan orang lain: menerbitkan Manajemen Presiden Soeharto, kumpulan tulisan 17 menteri—tentu dengan segala puja-puji.
Lebih dari sekadar mendapatkan keuntungan ekonomi—bukunya disebut-sebut laris manis di pasar—buku itu memberi Setya keuntungan lain: pengaruh politik. Namanya semakin diperhitungkan di kalangan pengurus Golkar.
Setelah Soeharto jatuh, Setya tak ikut ambruk. Ia bahkan berkibar ketika politik berubah dari sistem totaliter menjadi demokrasi. Setya adalah penikmat reformasi dalam pengertian yang sebenarnya.
Ketika bulan lalu Setya Novanto terpilih menjadi Ketua DPR, banyak orang menganggapnya sebagai keniscayaan. Ia memenuhi semua syarat memimpin lembaga tersebut: ia didukung partai besar dan tokoh senior dalam organisasi politik itu. Pengetahuan, pengalaman, dan kelincahannya dalam berpolitik tak diragukan lagi. Tapi yang barangkali belum dimilikinya justru sesuatu yang paling hakiki: integritas sebagai politikus.
Investigasi majalah ini menemukan kesaksian belasan orang—sumber tangan pertama—yang mengungkap "jalan uang" yang dipakai Setya untuk mencapai tujuan. Menurut kesaksian itu, Setya membayar serta memberi sangu kepada para Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar dalam sejumlah pertemuan agar tetap mendukung Ketua Umum Aburizal Bakrie. Ia juga menjadi penyokong utama sumbangan Golkar untuk kampanye calon presiden Prabowo Subianto. Tak sulit diduga, pimpinan Golkar dan semua anggota koalisi pro-Prabowo sepakat menyorongkan Setya menjadi calon Ketua DPR. Setya berhasil menyingkirkan rival utamanya di Golkar, Fadel Muhammad.
Penelusuran majalah ini menemukan pula fakta bahwa untuk melancarkan jalan menjadi Ketua DPR, Setya mengguyurkan uang ke politikus Partai Persatuan Pembangunan, partai yang berpotensi membelot. Adapun untuk mengegolkan aturan pemilihan kepala daerah tak langsung, dia menggelontorkan fulus kepada anggota Fraksi Golkar dan Demokrat, dua partai yang menjadi penentu keputusan. Kita tahu, dalam voting undang-undang ini, partai koalisi pro-Jokowi, yang menghendaki pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, bertekuk lutut.
Komisi Pemberantasan Korupsi sepatutnya turun tangan. Dalam undang-undang antikorupsi, pemberi dan penerima suap bisa dihukum berdasarkan pasal gratifikasi. Semestinya penelusuran kasus ini tak ruwet-ruwet amat. Banyaknya aktor yang terlibat memberi kesempatan lebih besar kepada Komisi untuk menemukan justice collaborator. Syukur-syukur jika KPK sudah mengendus bau tak sedap ini sejak jauh-jauh hari. Hasil sadapan percakapan tentu sangat banyak manfaatnya.
Jika kasus itu terbukti, ini kesekian kalinya Setya keserimpet persoalan hukum. Pada 1999, dia pernah menjadi tersangka kasus cessie Bank Bali senilai Rp 904 miliar. Saat itu, Setya menjadi bagian dari aksi pengalihan hak tagih Bank Bali hingga negara dirugikan ratusan miliar rupiah. Setya pernah pula disebut-sebut terkait dengan penyelundupan beras Vietnam. Ia juga ditengarai terlibat kasus impor limbah beracun di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Yang terakhir, ia jadi omongan karena "tersangkut" pencairan dana Pekan Olahraga Nasional 2012, kasus korupsi proyek e-KTP, dan suap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam sengketa kepala daerah Jawa Timur.
Membiarkan kasus demi kasus yang menjerat Setya menguap begitu saja sama artinya dengan melecehkan hukum kita. Mempertimbangkan posisi Setya sebagai Ketua DPR dalam penegakan hukum merupakan pembenaran terhadap rumor yang menyebutkan parlemen adalah bunker para koruptor. Mumpung belum terlalu jauh bekerja, DPR baru harus segera dibersihkan. Kasus Setya Novanto adalah yang utama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo