Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Inilah Komedi Komodo

The New7Wonders of Nature merupakan ajang bisnis semata. Lebih baik pemerintah merawat Taman Nasional Komodo.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJANG The New7Wonders of Nature tak hanya menghasilkan keributan. Ada hasil penting di baliknya: komodo melejit sebagai kadal paling populer di dunia. Tentu saja diharapkan popularitas ini mengundang lebih banyak wisatawan berkunjung ke Taman Nasional Komodo. Toh, kita miris bila ada "proyek terselubung" mendompleng usaha mendongkrak popularitas sang kadal, misalnya kepentingan politik dan penghamburan anggaran.

Bahwa kegiatan ini bermotif bisnis, itu sesungguhnya sudah diketahui sejak awal. Pada 2008, Indonesia mencalonkan tiga tempat: Pulau Komodo, Danau Toba, dan Gunung Anak Krakatau. Hanya komodo yang berhasil masuk 28 besar dan berhak dipilih oleh siapa saja lewat polling pesan pendek (SMS) dan Internet. Penyelenggaranya juga bukan organisasi "abal-abal". The New7Wonders Foundation pernah sukses dengan pentas yang sama pada 2007.

Memang banyak pro dan kontra. Sejumlah negara—termasuk Mesir, yang gagal menjadikan piramida sebagai satu dari New Seven Wonders of the World—menuduh ajang ini tak relevan dan tak ilmiah. New Seven Wonders memang lebih mirip Indonesian Idol. Yang menang adalah mereka yang paling populer di mata masyarakat, bukan yang bersuara paling merdu.

Sesungguhnya Indonesia tidak memerlukan pengakuan obyektif dari New Seven Wonders, karena pada 1991 badan dunia UNESCO sudah menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia. Yang kita dapatkan dari New Seven Wonders adalah kesempatan promosi gratis warisan budaya kita kepada dunia. Sejauh ini, promosi itu berhasil. Meski pemenang baru akan diumumkan pada 11 November ini, popularitas komodo sangat meningkat.

Setidaknya, meningkatnya perhatian pada komodo itu sudah dirasakan pemerintah Nusa Tenggara Timur, provinsi tempat komodo tinggal. Sekelompok orang, antara lain disponsori mantan wakil presiden Jusuf Kalla, bergiat mengkampanyekan pemilihan komodo ini. Tentu saja pemerintah Nusa Tenggara Timur tak ambil pusing soal motif sekelompok orang itu. Bahkan, soal kredibel atau tidaknya Yayasan New7Wonders, mereka tak peduli. Sikap itu bisa dimaklumi karena selama ini pemerintah daerah—juga pemerintah pusat—tidak memiliki dana khusus untuk memperkenalkan komodo ke dunia internasional.

Biaya promosi sekarang datang dari masyarakat lewat SMS dan Internet. Hasilnya, pekan lalu, Pulau Komodo berada di peringkat kedua. Sempat terjadi kerepotan ketika pecah kisruh antara pemerintah dan Yayasan New7Wonders tentang kesediaan Indonesia sebagai tuan rumah pengumuman pemenang.

Pemerintah Indonesia sudah menyatakan setuju menjadi tuan rumah pada Maret 2010. Untuk upacara besar, lengkap dengan selebritas Hollywood, Yayasan New7Wonders mengajukan anggaran US$ 25-45 juta atau Rp 224-448 miliar. Indonesia pun mundur. Keputusan pemerintah sudah benar. Dana besar ini bisa dipakai untuk memperbaiki taman nasional itu.

Untung saja kemudian New7Wonders, yang "mengancam" akan mencoret komodo dari daftar finalis jika pemerintah Indonesia mundur sebagai calon tuan rumah, tidak melaksanakan niatnya. Toh, "musibah" ini semestinya memberi pelajaran pada pemerintah: perayaan dan pesta bukan cara terbaik untuk menjaga warisan budaya, termasuk kadal raksasa itu.

Bahwa sekelompok anggota masyarakat berhibuk menyelamatkan "kemenangan" komodo, itu patut mendapat apresiasi. Usaha mulia ini pasti akan coreng-moreng bila kelak diketahui ada motif politik yang menunggang popularitas kadal dengan lidah bercabang dua itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus