Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hilang Muruah Komisi Antirasuah

Sikap pimpinan KPK yang mudah diintervensi TNI kian menjatuhkan wibawa lembaga antirasuah itu. Buah pelemahan di era Jokowi.

25 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hilang Muruah Komisi Antirasuah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK kian mudah diintervensi oleh kekuasaan dan orang-orang yang sok berkuasa.

  • Pimpinan KPK tak berani menolak perwira TNI yang memaksa bertemu dengan tahanan di luar jam besuk.

  • Konsekuensi dari pelemahan secara sistematis KPK di era Jokowi.

INDEPENDENSI menjadi kata yang semakin langka dalam kamus pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini. Buktinya, lembaga antirasuah itu kian mudah diintervensi oleh kekuasaan dan orang-orang yang “sok berkuasa”. Dalam kasus terbaru, pimpinan KPK menyerah begitu saja ketika seorang perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) memaksa bertemu dengan tahanan di luar jam besuk dengan menabrak prosedur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejadian yang mencoreng wajah KPK itu berlangsung pada Jumat, 28 Juli lalu. Kala itu, Oditur Jenderal TNI Laksamana Muda Nazali Lempo memaksa bertemu dengan Dadan Tri Yudianto, tersangka dalam kasus pengurusan perkara korupsi Koperasi Simpan Pinjam Intidana di Mahkamah Agung. Dua pemimpin KPK, Alexander Marwata dan Johanis Tanak, tak berani menolak permintaan Nazali yang mengaku kenal dekat dengan Dadan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal yang lebih memalukan lagi, pertemuan Nazali dengan Dadan ini berlangsung di ruang tunggu lantai 15 gedung KPK, tempat lima pemimpin lembaga antikorupsi itu berkantor. Padahal, berdasarkan aturan di KPK, tahanan hanya bisa dijenguk atas izin penyidik setiap Senin dan Kamis pukul 10.00-12.00 WIB. Tahanan pun semestinya hanya bisa ditemui di ruang pengunjung di rumah tahanan KPK. Aturan tersebut seharusnya berlaku untuk siapa saja, termasuk penjenguk dari kalangan petinggi militer.

Dalih pimpinan KPK bahwa Nazali memaksa mereka sama sekali tidak bisa diterima. Apalagi pimpinan KPK sebelumnya kompak menyangkal adanya pertemuan tersebut. Mereka baru membenarkan adanya pertemuan Nazali dengan Dadan itu setelah Dewan Pengawas KPK mulai mengusut dugaan pelanggaran etik buntut "peminjaman tahanan" tersebut.

Sikap lembek Alexander Marwata dan Johanis Tanak itu justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan KPK saat ini. Bila pemimpinnya saja begitu mudah ditekan untuk melanggar aturan, bagaimana kita bisa berharap pegawai KPK di bawah mereka bisa independen dan memegang teguh aturan.

Ini bukan kejadian pertama pimpinan KPK menyerah ketika diintimidasi. Sebelumnya, pada hari yang sama, belasan perwira tinggi TNI, termasuk Nazali, mendatangi KPK untuk memprotes penetapan status tersangka atas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto dalam kasus korupsi di Badan SAR Nasional. Padahal, dalam Undang-Undang KPK, tegas dinyatakan bahwa komisi ini berwenang mengusut semua kasus korupsi, baik yang melibatkan kalangan sipil maupun militer.

Alih-alih berkukuh menjalankan undang-undang, KPK malah menganulir penetapan status tersangka atas kedua perwira itu. Pimpinan KPK yang diwakili Johanis Tanak pun meminta maaf secara terbuka kepada TNI. Tak berhenti di situ, Johanis justru menyalahkan penyidik KPK. Padahal, berdasarkan prosedur yang berlaku di KPK, penetapan status tersangka selalu atas dasar hasil gelar perkara dan persetujuan pimpinan KPK.

Di satu sisi, sikap Nazali dan kawan-kawan itu jelas menunjukkan arogansi serta rendahnya penghormatan atas agenda pemberantasan korupsi. Di sisi lain, sikap pimpinan KPK yang mudah diintervensi membuat muruah lembaga antikorupsi itu jatuh hingga titik nadir. Pemimpin TNI dan Dewan Pengawas KPK seharusnya tidak membiarkan kejadian ini menguap disapu angin.

Meski demikian, kita tak bisa lagi berharap banyak. Runtuhnya wibawa KPK hari ini sejatinya merupakan konsekuensi dari pelemahan secara sistematis lembaga yang pernah menggentarkan para koruptor itu. Lewat revisi Undang-Undang KPK yang dipaksakan, pemerintahan Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menempatkan KPK ke dalam rumpun eksekutif. Setelah KPK diutak-atik agar mudah “diatur” para politikus, pembusukan lembaga itu berlangsung begitu cepat. •

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus