Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kriminalisasi Demo Pelajar

Cara kepolisian menangani para pelajar yang terlibat aksi unjuk rasa pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tidak mencerminkan slogan “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat" yang diusung institusi tersebut.

16 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Cara kepolisian menangani para pelajar yang terlibat aksi unjuk rasa pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tidak mencerminkan slogan “melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat" yang diusung institusi tersebut. Alih-alih membina dan melindungi masa depan para pelajar, polisi justru mengkriminalkan mereka.

Polisi menangkap pelajar dan mahasiswa penolak Undang-Undang Cipta Kerja di sejumlah daerah sepanjang pekan lalu. Polisi menuduh mereka akan melakukan aksi anarkistis. Menurut kepolisian, jumlah pelajar yang ditangkap dalam demonstrasi pada 8 Oktober lalu sebanyak 1.548 orang. Adapun menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, sampai Sabtu pekan lalu, polisi menangkap 3.665 pelajar, dan 91 orang di antaranya menjalani proses hukum.

Polisi juga menebar ancaman akan mencantumkan status pelanggar hukum hingga tidak akan menerbitkan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Padahal surat keterangan ini amat diperlukan, antara lain, untuk melanjutkan sekolah dan melamar pekerjaan. Ancaman kriminalisasi dan catatan pelanggaran hukum dalam SKCK tak hanya mengekang kemerdekaan para pelajar untuk berpendapat. Tindakan polisi itu bisa “membunuh” masa depan para pelajar yang rata-rata masih berusia di bawah 18 tahun tersebut.

Keterlibatan pelajar dalam unjuk rasa bukan tindakan kriminal. Apalagi kritik mahasiswa dan pelajar atas UU Cipta Kerja sejatinya merupakan reaksi atas cacat bawaan omnibus law itu. Tak hanya penyusunannya yang tak transparan, substansi undang-undang sapu jagat itu juga banyak merugikan pekerja dan mengancam lingkungan.

Kalaupun ada pelajar yang terbukti melanggar hukum saat berdemonstrasi, polisi semestinya memperlakukan mereka sebagai anak-anak yang perlu dibina. Polisi semestinya melakukan pendekatan di luar hukum dengan menerapkan prinsip restorative justice, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pelajar yang masih anak-anak semestinya dibina, bukan justru dipidanakan.

Polisi seharusnya juga tidak melupakan bahwa para pelajar telah menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Budi Utomo dan Sumpah Pemuda merupakan bukti bahwa kemerdekaan adalah anak dari revolusi pemuda dan pelajar.  

Kaum muda dan pelajar tak boleh gentar akan berbagai ancaman dari kepolisian. Bapak bangsa Mohammad Hatta pernah mengingatkan bahwa kaum inteligensia tidak hanya harus menunjukkan tanggung jawab intelektualnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, tapi juga tanggung jawab moral. “Berdiam diri melihat kesalahan dan keruntuhan masyarakat atau negara berarti mengkhianati dasar kemanusiaan,” kata Hatta dalam pidatonya pada Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Juni 1957.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus