Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA sudah memasuki usianya yang ke 78 tahun. Banyak sudah perubahan yang terjadi pada bangsa dan negara ini. Namun dari sekian persoalan yang masih jadi pekerjaan rumah dan belum merdeka, salah satunya adalah dunia pendidikan. Pada konteks dunia pendidikan Indonesia, selain persoalan kurikulum dan kesejahteraan guru, hal yang sangat mengkhawatirkan adalah keadaban publik (public civility) peserta didik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keadaban publik berkaitan dengan bagaimana sikap atau perilaku individu untuk dapat menghargai, menghormati, peduli, taat pada aturan dan norma sosial serta menerapkan dan melakukannya dalam interaksi kehidupan sosialnya. Keadaban publik dapat dikatakan erat kaitannya dengan karakteristik masyarakat yang terpelajar dan terdidik. Lalu bagaimana kondisi keadaban publik peserta didik Indonesia saat ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keadaban publik peserta didik Indonesia kini banyak disorot oleh berbagai pemberitaan di media. Mengingat semakin banyak berita mengenai kekerasan yang dilakukan oleh oknum – oknum peserta didik, baik di sekolah maupun diluar sekolah. Dari kasus peer to peer violence seperti tawuran antar pelajar, perkelahian antar individu peserta didik, perundungan, hingga kasus yang belum lama ini mengenai penusukan yang dilakukan oleh oknum peserta didik kepada temannya di sekolah. Selain peer to peer violence, juga kasus seks bebas, narkoba, dan kekerasan peserta didik dan atau orangtua peserta didik kepada guru juga mulai marak menjadi bahan berita.
Hal ini tentu menambah catatan hitam dunia pendidikan Indonesia. Padahal tujuan dari pendidikan di antaranya membentuk moral dan keadaban peserta didiknya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi” (1964) yang menjelaskan bahwa pendidikan merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas atau renaissance paedagogie serta keadaban. Sementara Sosiolog Durkheim dalam bukunya “Pendidikan Moral” (2003), optimis meyakini bahwa pendidikan adalah instrumen pembentukan moral manusia.
Sementara itu pakar pendidikan UNJ, H.A.R. Tilaar (2000) menjelaskan bahwa pendidikan tidak hanya menciptakan manusia yang pintar tetapi juga berbudaya dan beradab. Pernyataan H.A.R. Tilaar senada dengan apa yang disampaikan Conny Semiawan yang merumuskan konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) agar pendidikan dapat membentuk karakter baik pada peserta didik selain kognitifnya.
Jika dilihat secara sosiologis, para peserta didik yang berusia 7 - 18 tahun ini sedang dalam fase cermin diri atau dalam istilah Sosiolog Charles Horton Cooley yakni “Looking Glass Self”. Pada posisi cermin diri, peserta didik memerlukan masyarakat dan termasuk keluarga sebagai cermin atau gambaran tentang identifikasi dirinya. Kondisi ini yang kemudian membuat peserta didik rentan alami krisis identitas diri yang membuat ia alami kegelisahan dan stres hingga berakibat terjadinya konflik antara dirinya dengan orang lain.
Pada usia peserta didik ini, sangat vital penerimaan dan pengakuan dari lingkungan sosialnya dalam pembentukan keadaban publiknya, termasuk teman sebayanya. Apabila internalisasi nilai dan norma yang dipegang oleh teman sebaya berbeda bahkan cenderung menyimpang dari nilai dan norma yang diajarkan oleh sekolah dan orangtuanya, maka individu peserta didik tersebut akan berpotensi turut terpengaruh dan mengalami kebingungan dalam peran sosialnya (role confusion). Hal ini diperparah dengan mudahnya berbagai akses internet yang sifatnya destruktif, misalnya saja kasus pembunuhan siswi SMP di Mojokerto oleh temannya pada Juni 2023 lalu yang terpengaruh adegan pembunuhan pada tayangan salah satu platform media sosial.
Kini memasuki usianya yang ke 78 tahun, dan rencana besar program “Indonesia Emas 2045” yang artinya Indonesia memasuki usia ke-100 atau 1 abad, Indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusianya. Pada 2045, ditargetkan Indonesia sudah menjadi negara yang maju serta sudah sejajar dengan negara maju lainnya. Untuk mewujudkan “Indonesia Emas 2045” ini, maka dibutuhkan persiapan untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia yang unggul, berkualitas, berkarakter dan beradab. Oleh sebab itu, peserta didik hari ini adalah sumber daya manusia Indonesia yang akan membawa dan menentukan kemajuan Indonesia di masa depan dan barometer sukses atau tidaknya visi dan misi “ Indonesia Emas 2045. Sebab itu, dunia pendidikan Indonesia harus segera membenahi keadaban publik pada peserta didik di sekolah. Jika tidak, maka akan terus terjadi berbagai kasus kekerasan yang pelakunya adalah peserta didik.
Berangkat dari persoalan di atas, maka sangat penting untuk realitas pembelajaran di sekolah tidak hanya bertujuan meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman atau link and match. Namun juga pengalaman dan internalisasi nilai dan norma keadaban sangat penting dikuatkan dalam realitas pembelajaran di sekolah. Jangan sampai dunia pendidikan Indonesia fokus terhadap menyiapkan sumber daya manusia yang unggul untuk dunia kerja, namun lupa menguatkan pondasi dasar keadaban publik peserta didiknya. Hal ini dapat tercermin pada berkurangnya jam pelajaran di sekolah untuk mata pelajaran yang menguatkan keadaban publik peserta didik.
Selain menguatkan keadaban publik di sekolah, peran orangtua juga sangat vital. Pola asuh orang tua dapat dimaknai sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dalam kontak sosial dengan anaknya selama mengadakan kegiatan pengasuhan untuk membentuk perilaku anak sesuai nilai dan norma yang ada. Pada konteks sosiologi keluarga, William J. Goode (2004) menjelaskan bahwa saat anak melakukan suatu perilaku dalam kehidupannya, maka tidak lepas dengan cerminan pola asuh dalam keluarganya itu sendiri. Dengan demikian, begitu vital peran orang tua membentuk keadaban publik anak. Apalagi mengingat di era masyarakat digital saat ini dan era kesibukan bekerja orang tua, semakin membuat tantangan dalam menjalankan pola asuh semakin berat.
Pada refleksi kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78 ini, kita semua mempunyai tanggungjawab dalam membentuk keadaban publik generasi masa depan, baik itu anak ataupun peserta didik. Jika krisis keadaban publik ini tidak ditanggapi serius, maka akan terus kita saksikan dan tonton berbagai kisah kasus kekerasan yang pelakunya adalah peserta didik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020 merilis data hasil penelitiannya yang setiap tahun terjadi 200.000 pembunuhan anak muda usia 12-29 tahun. Ada 84 persen kasus melibatkan laki-laki usia muda atau remaja laki-laki yang berstatus pelajar. WHO menyatakan kekerasan pada anak muda menjadi isu kesehatan global yang harus mendapat perhatian serius.
Hasil data penelitian WHO ini menjadi “alarm” bagi kita semua bahwa tren kekerasan pada dunia peserta didik Indonesia saat ini juga mengkhawatirkan. Untuk itu, jika keadaban publik merosot maka permasalahan sosial akan siap menyapa dengan sadis realitas publik. Keadaban publik adalah cermin salik. Sebab itu, kata Soekarno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Dirgahayu Indonesia ke 78