Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Barang yang dianggap mewah oleh masyarakat tapi tak tercantum dalam PPnBM, tidak dapat dikategorikan sebagai barang mewah secara sah.
Sistem PPN di Indonesia sejatinya tidak mengenal multitarif.
Efektivitas kenaikan tarif PPN 12 persen tergantung seberapa kuat persepsi publik dalam menentukan sikap.
PALU sudah diketok, keputusan sudah ditetapkan. Kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen akan diberlakukan hanya untuk barang mewah mulai Januari 2025. Di satu sisi, segmentasi kenaikan tarif dari 11 persen menjadi 12 persen menunjukkan pemerintah mau mendengarkan aspirasi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, kebijakan kenaikan PPN menghadirkan sejumlah isu fundamental. Persoalan pertama menyangkut obyek pajak. Sejauh ini, belum ada kriteria baku. Cakupan barang mewah merujuk pada pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang ditetapkan melalui peraturan Menteri Keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cakupan PPnBM secara formal bisa berubah. Pada prinsipnya, barang ditetapkan dalam PPnBM bisa diklaim sebagai barang mewah. Dengan demikian, barang yang dianggap mewah oleh masyarakat tapi tak tercantum dalam PPnBM, tidak dapat dikategorikan sebagai barang mewah secara sah.
Karena itu, barang mewah yang termaktub dalam PPnBM pun masih bisa diperdebatkan. Mobil, misalnya, tercakup dalam PPnBM. Adapun PPnBM atas pembelian mobil ditanggung pemerintah. Setiap barang mewah yang terutang PPN 12 persen semestinya terutang pula PPnBM-nya.
Ketidakbakuan kriteria barang mewah membawa implikasi yang tidak ringan. Kesulitan akan muncul, misalnya pada penerapan tarif PPN untuk kelompok pangan. Bahan kebutuhan pokok pangan tidak dikenai PPN, tapi di dalam kelompok pangan terdapat daging wagyu yang merupakan barang mewah.
Cerita yang sama agaknya berlaku pada kelompok barang lain. Faktur pajak yang harus dibuat menjadi lebih kompleks, tidak hanya antara PPN dan PPnBM, tapi juga antara barang yang tidak terkena PPN, terpungut PPN 11 persen, dan yang terutang PPN 12 persen. Ongkos itu tetap akan dibebankan kepada konsumen.
Kalaupun masalah teknis pemungutan bisa ditanggulangi, persoalan kompleksitas tarif PPN tidak berhenti sampai di situ. Sistem PPN di Indonesia sejatinya tidak mengenal multitarif. Karena itu, penerapan PPN 12 persen hanya untuk barang mewah akan menjadi yang pertama kali dalam sejarah perpajakan di Indonesia.
Pemerintah bisa saja menerbitkan aturan pengecualian agar penerapan PPN 12 persen khusus barang mewah tetap bisa diberlakukan. Namun regulasi dengan pengecualian niscaya akan merecoki kredibilitasnya. Alih-alih mengapresiasi unsur fleksibilitasnya, masyarakat lebih melihatnya sebagai inkonsistensi.
Persepsi inkonsistensi itu tidak mengada-ada. Penerapan PPN 12 persen yang hanya berlaku untuk barang mewah memang dimaksudkan agar golongan masyarakat atas menanggung beban pajak yang lebih tinggi. Ketidakbakuan kriteria barang mewah kembali gagal membedakan antara golongan masyarakat atas dan kelompok bawah.
Sementara itu, PPN, menurut karakteristiknya, adalah jenis pajak tidak langsung. Pembayaran PPN dilakukan oleh pihak penjual/produsen, tapi beban akhir PPN tetaplah ditanggung konsumen. Artinya, sistem multitarif PPN sebagai instrumen redistribusi pendapatan tidak terpenuhi.
Adapun tarif pajak penghasilan (PPh) badan yang merupakan pajak langsung, sejak 2022, justru menerapkan tarif tunggal 22 persen. Secara definisi, pajak langsung adalah jenis pajak yang mengkondisikan pembayar pajak sekaligus sebagai penanggung beban akhir. Konsekuensinya, pajak langsung tidak bisa dipindahkan atau digeserkan kepada pihak lain.
Ironisnya, tarif PPh badan itu, menurut rencana, akan dipangkas menjadi 20 persen. Sebaliknya, tarif PPh orang pribadi, menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, sudah dimunculkan tambahan layer anyar 35 persen untuk penghasilan individu di atas Rp 5 miliar per tahun.
Walhasil, persepsi inkonsistensi akan memunculkan kecemburuan sosial. Kelompok masyarakat yang cemburu cenderung akan terus berusaha mencari celah atau bahkan bertindak oportunistik. Artinya, efektivitas kenaikan tarif PPN 12 persen tergantung seberapa kuat persepsi publik dalam menentukan sikap.
Dengan konfigurasi problematika di atas, opsi yang tersedia bagi otoritas fiskal ada tiga. Pertama, memberlakukan kenaikan PPN 12 persen seragam untuk semua jenis barang yang menurut ketentuan baku menjadi obyek PPN. Opsi ini pahit, tapi kewibawaan peraturan akan dipertaruhkan.
Kedua, jika pemerintah tidak ingin menganulir keputusannya, otoritas fiskal perlu menetapkan secara detail kriteria barang mewah yang dikenakan PPN. Menyiapkan kompensasi dan menghilangkan inkonsistensi regulasi perpajakan menjadi langkah komplementernya.
Menganulir palu yang sudah diketok pun sejatinya juga bukan barang tabu. Opsi menunda kenaikan tarif PPN 12 persen secara moral bisa dibilang lebih bijak ketimbang memaksakan diri mengikuti kaidah yuridis-formal. Bukankah kaidah yuridis-formal tidak selalu mampu mengakomodasikan sikap bijak? ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.