Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK perlu terlalu terharu menyaksikan tiga klub papan atas Liga Inggris berdatangan ke Jakarta dalam dua pekan terakhir. Arsenal, Liverpool, dan Chelsea, yang sedang rehat dari kompetisi itu, terbang jauh-jauh kemari jelas bukan lantaran mendengar ada tim sepak bola hebat di negeri ini.
Bahkan, patut diduga, mereka datang karena paham tim sepak bola Indonesia "mudah dikendalikan"—kesebelasan Indonesia kebobolan 17 gol dalam tiga pertandingan dan hanya membalas satu gol (itu pun gol bunuh diri). Dengan begitu, para pemain klub Inggris yang dipuja-puja penonton kita itu mendapatkan liburan yang sempurna: tak terlalu berkeringat di lapangan, berkesempatan menghibur fans mereka. Yang terpenting: mereka mendapat bayaran besar.
Dalam dua tahun terakhir, dengan berbondong-bondongnya klub Eropa datang ke sini, stadion memang banjir penonton. Para penggila sepak bola itu pasti ingin melihat langsung bintang-bintang dunia yang selama ini hanya mereka tonton lewat siaran televisi. Jumlah fans klub-klub Inggris itu barangkali lebih besar daripada pendukung tim nasional Indonesia. Fans Liverpool di Indonesia, misalnya, sekitar 1,3 juta, melebihi jumlah pendukung di negerinya sendiri. Penyokong Arsenal dan Chelsea di sini di atas setengah juta orang.
Rupanya, sponsor tahu benar kiat bisnis memanfaatkan fans segudang ini. Bagi sponsor, tak rugi mengeluarkan uang miliaran bila awareness merek mereka meningkat di mata orang ramai. Melonjaknya awareness biasanya berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan.
Memperlakukan sepak bola sebagai ajang promosi dan bisnis tentu saja tidak haram. Orang tahu bisnis kadang tak berjalan seiring dengan nasionalisme. Penonton "memerahkan" atau "membirukan" Stadion Gelora Bung Karno dengan mengenakan kostum klub tamu. Mereka menyanyikan lagu-lagu "kebangsaan" milik penonton Stadion Emirates atau Stamford Bridge, markas klub-klub Inggris itu. Penonton bersorak-sorai justru ketika gawang tim Indonesia bobol.
Tim Indonesia All-Star, pemain-pemain terbaik di Tanah Air, akhirnya hanya pelengkap penderita. Dengan kemampuan begitu compang-camping, tim Indonesia cuma menjadi bulan-bulanan lawan. Kemampuan kesebelasan Indonesia saat ini memang jauh di bawah tim-tim nasional di masa lalu. Bahkan klub asal Surabaya, Niac Mitra, misalnya, pada 1983 pernah memukul Arsenal dengan 2-0. Sejak 1953, sudah 19 klub Eropa yang datang, tapi baru belakangan ini tim Indonesia kalah dengan gol mencolok.
Toh, antusiasme yang meningkat di lapangan hijau ini patut dijaga. Minat sejumlah badan usaha milik negara menjadi sponsor utama mesti dipertahankan, termasuk keberanian membayar sekitar Rp 30 miliar untuk setiap klub yang datang. Boleh-boleh saja menggelontorkan Rp 12 miliar untuk mendatangkan Maradona, walau pemain legendaris yang berhasil sembuh dari narkoba itu bahkan sudah "tak laku" di negerinya sendiri.
Jangan-jangan, dengan sokongan penuh BUMN, mutu sepak bola kita akan kembali meningkat. Dengan dana corporate social responsibility, umpamanya, BUMN bisa membantu mensponsori pembinaan pemain muda kita.
Barangkali nasionalisme sudah tak relevan di era ketika sepak bola menjadi komoditas global ini. Tapi tetap saja terasa ironis ketika perhelatan miliaran rupiah itu, sorak-sorai penonton kita di stadion kebanggaan Indonesia itu, terjadi ketika tim Indonesia dibantai habis-habisan di depan publiknya sendiri.
berita terkait di halaman 29
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo