Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hubungan tak selaras antara Rano Karno dan Ratu Atut Chosiyah sekali lagi menunjukkan rapuhnya model pencalonan kepala daerah yang memanfaatkan artis sebagai vote getter. Namanya vote getter, dia dipilih karena popularitasnya berpotensi mendulang suara. Tak jadi masalah bila si artis menerima saja posisinya yang nihil kekuasaan, bila terpilih. Runyam bila si artis ingin atau tahu persis dia bisa ikut punya wewenang, atau malah berambisi juga menjadi kepala daerah.
Sebenarnya siapa pun yang didudukkan sebagai vote getter sudah pasti bisa mengendus gelagat di muka: hanya sebagai pelengkap, dibutuhkan sesaat, untuk berlaga dalam pemilihan kepala daerah. Jika sudah terpilih dan kecewa karena tak diberi tugas signifikan dalam pemerintahan, dia justru menelanjangi kebodohannya sendiri, minimal kenaifannya.
Selalu ada kemungkinan lain, memang. Misalnya, pada saat dilamar, si artis dijanjikan akan diserahi wewenang tertentu. Tapi, karena janji itu tak dibubuhkan di atas kertas, dia menjadi tak punya dasar menuntut manakala pasangannya ingkar. Terlebih lagi soal ini juga tak diatur khusus dalam ketentuan hukum yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, khususnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebelum Atut dan Rano—keduanya Gubernur dan Wakil Gubernur Banten—hubungan yang retak menimpa pasangan Bupati dan Wakil Bupati Garut, Aceng Fikri dan Diky Candra. Ketidakmesraan ini lama menjadi pengetahuan umum, sebelum akhirnya Diky, seorang aktor, memilih mengundurkan diri. Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf, juga sempat dikabarkan "pecah kongsi", walau keduanya membantah. Dede, yang dikenal sebagai pemain sinetron dan pembawa acara, kemudian memilih jalan "solo karier", maju sebagai calon gubernur, dan gagal.
Friksi serupa itu tentu saja merugikan jalannya pemerintahan. Suasana kerja di lingkungan pemerintah daerah pasti terganggu. Kepentingan publik jadi dinomorsekiankan. Dan tentu saja fungsi wakil kepala daerah sebagaimana diamanatkan undang-undang—sebagai pembantu kepala daerah, termasuk memberi saran dan pertimbangan—terabaikan sama sekali.
Kini sedang berkembang keinginan untuk mengatasi masalah dengan mengajukan gagasan wakil kepala daerah sebaiknya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas usul kepala daerah terpilih. Gagasan ini diusulkan senyampang ada upaya merevisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Tapi ini usul yang bisa terlihat bagus di permukaan. Ada peluang sangat besar masalah justru dipindahkan ke ruang "parlemen".
Kalaupun ketidakakuran kepala daerah dan wakilnya hendak dihindari melalui undang-undang, yang justru mesti dibahas adalah pengaturan tentang perjanjian saat ada dua pihak setuju berpasangan. Ini demi mencegah kepala daerah mengangkangi kekuasaan. Misalnya ada kewajiban membuat kontrak politik yang mengikat secara hukum. Kontrak ini merinci pembagian tugas jika kelak terpilih. Kontrak memang tak sepenuhnya bisa mencegah konflik; hubungan personal tentu ada kalanya merenggang. Tapi ikatan hukum akan menjadi jaminan, jika timbul masalah akan ada penyelesaian yang pasti dan adil.
Sebelum undang-undangnya mengatur, perjanjian itu sebenarnya sudah bisa dibuat. Soalnya tinggal ada atau tidak kemauan para politikus untuk mencegah timbulnya "kasus Rano versus Atut" dan lain-lainnya itu.
berita terkait di halaman 48
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo