Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Biarkan, Rupiah Kembali Melemah

Menguatnya rupiah pekan silam hendaknya bukan basa-basi. Dan kita semua berkepentingan agar rupiah kembali bertengger pada kurs Rp 7.000 per dolar AS.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau mekanismenya tak terganggu, dengan sistem nilai tukar bebas mengambang plus volume ekspor-impor meningkat, tentu kurs rupiah akan menguat. Tapi anehnya, kurs rupiah justru terpuruk. Mencermati rentang kurs yang sejak dua pekan lalu bergerak antara Rp 9.000 dan Rp 9.500, bisa disimpulkan bahwa kekuatan pasar telah memangkas daya beli rupiah sekitar 30 persen. Gejala itu mencemaskan, tapi pemerintah tidak mengubah APBN 2000 yang mematok kurs pada Rp 7.000 per dolar AS. Sikap itu mengisyaratkan bahwa kurs 9.000-an per dolar memang bukan kurs yang riil—not the correct exchange rate. Selain itu, pemerintah cenderung menyikapi kejatuhan kurs dengan harapan, rupiah akan segera menguat kembali.

Grafik kejatuhan rupiah memperlihatkan, betapa kurs mata uang yang rentan ini menurun tanpa perlawanan yang berarti. Berbagai indikator ekonomi yang positif tak mempan menahan gejala penurunannya. Di satu sisi, gejolak ini menunjukkan adanya orang-orang yang terus-menerus melepas rupiah—sebagian mungkin karena latah—sehingga volumenya di pasar membengkak. Di sisi lain, arus dolar yang mengalir dari luar terlalu kecil untuk mengimbangi volume rupiah yang membanjiri pasar. Ini berarti, investasi asing, termasuk investasi jangka pendek di pasar modal, juga belum meningkat.

Pada mulanya, kejatuhan rupiah terjadi seiring dengan tertundanya pencairan pinjaman dari IMF. Sejak itu silih berganti muncul aneka peristiwa yang tak langsung berdampak pada kejatuhan kurs, seperti Buloggate, prediksi rendahnya pertumbuhan ekonomi dari Badan Pusat Statistik, kelambanan Kejaksaan Agung mengusut kasus KKN, pemecatan Menteri Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, kerusuhan berdarah di Maluku dan Poso, dan terakhir, dampak dari inkonsistensi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang memuncak pada interpelasi oleh DPR, Kamis pekan lalu. Semua kasus itu melonjakkan keragu-raguan pasar, yang akhirnya bermuara pada sikap tidak percaya terhadap pemerintah. Memang, trend ekonomi membaik, tapi tidak bisa memaksa pasar untuk percaya bahwa segalanya lancar, oke, tak bermasalah.

Ketidakpercayaan pasar ini sebaiknya dicermati, terutama kini, ketika BI menunjukkan kebolehannya menguatkan nilai rupiah. Hanya dalam dua hari, rupiah menguat dari Rp 9.500 menjadi Rp 8.900-an per dolar AS. Ada yang percaya bahwa siasat BI mengirim petugasnya untuk langsung memantau jual-beli valuta di dealing room sejumlah bank di Jakarta terbukti efektif. Tapi ada juga yang menduga, pengaruh kehadiran petugas BI tersebut tidaklah sehebat yang diperkirakan orang. Pemantauan BI terhadap aktivitas bank-bank yang kini lebih ketat—terutama dalam hal net open position dan kontrak forward—agaknya juga telah membawa pengaruh positif pada rupiah. Namun, yang benar-benar mampu memperkuat rupiah adalah intervensi pasar secara langsung oleh BI—tentu dengan memborong rupiah dan melepas dolar dalam jumlah cukup besar.

Gebrakan seperti itu memang perlu, tapi tak mungkin dilakukan BI secara terus-menerus. Selain cadangan dolar BI terbatas, upaya menguatkan rupiah hanya berhasil kalau kepercayaan pasar dapat dipulihkan. Untuk yang disebut terakhir ini, pemerintah hendaknya bahu-membahu dengan lembaga tinggi negara lainnya. Merebut kembali kepercayaan pasar tidaklah mudah, tapi itulah tantangan terbesar yang harus dihadapi kini. Jika pemerintah mengulangi pola kerjanya yang lama—antara lain dengan gaya petantang-petenteng mencari musuh—rupiah, yang pekan lalu sempat menguat, bisa segera melemah. Terlebih lagi dalam situasi panas menjelang sidang tahunan MPR, Agustus mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus