Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Grafik kejatuhan rupiah memperlihatkan, betapa kurs mata uang yang rentan ini menurun tanpa perlawanan yang berarti. Berbagai indikator ekonomi yang positif tak mempan menahan gejala penurunannya. Di satu sisi, gejolak ini menunjukkan adanya orang-orang yang terus-menerus melepas rupiahsebagian mungkin karena latahsehingga volumenya di pasar membengkak. Di sisi lain, arus dolar yang mengalir dari luar terlalu kecil untuk mengimbangi volume rupiah yang membanjiri pasar. Ini berarti, investasi asing, termasuk investasi jangka pendek di pasar modal, juga belum meningkat.
Pada mulanya, kejatuhan rupiah terjadi seiring dengan tertundanya pencairan pinjaman dari IMF. Sejak itu silih berganti muncul aneka peristiwa yang tak langsung berdampak pada kejatuhan kurs, seperti Buloggate, prediksi rendahnya pertumbuhan ekonomi dari Badan Pusat Statistik, kelambanan Kejaksaan Agung mengusut kasus KKN, pemecatan Menteri Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla, kerusuhan berdarah di Maluku dan Poso, dan terakhir, dampak dari inkonsistensi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang memuncak pada interpelasi oleh DPR, Kamis pekan lalu. Semua kasus itu melonjakkan keragu-raguan pasar, yang akhirnya bermuara pada sikap tidak percaya terhadap pemerintah. Memang, trend ekonomi membaik, tapi tidak bisa memaksa pasar untuk percaya bahwa segalanya lancar, oke, tak bermasalah.
Ketidakpercayaan pasar ini sebaiknya dicermati, terutama kini, ketika BI menunjukkan kebolehannya menguatkan nilai rupiah. Hanya dalam dua hari, rupiah menguat dari Rp 9.500 menjadi Rp 8.900-an per dolar AS. Ada yang percaya bahwa siasat BI mengirim petugasnya untuk langsung memantau jual-beli valuta di dealing room sejumlah bank di Jakarta terbukti efektif. Tapi ada juga yang menduga, pengaruh kehadiran petugas BI tersebut tidaklah sehebat yang diperkirakan orang. Pemantauan BI terhadap aktivitas bank-bank yang kini lebih ketatterutama dalam hal net open position dan kontrak forwardagaknya juga telah membawa pengaruh positif pada rupiah. Namun, yang benar-benar mampu memperkuat rupiah adalah intervensi pasar secara langsung oleh BItentu dengan memborong rupiah dan melepas dolar dalam jumlah cukup besar.
Gebrakan seperti itu memang perlu, tapi tak mungkin dilakukan BI secara terus-menerus. Selain cadangan dolar BI terbatas, upaya menguatkan rupiah hanya berhasil kalau kepercayaan pasar dapat dipulihkan. Untuk yang disebut terakhir ini, pemerintah hendaknya bahu-membahu dengan lembaga tinggi negara lainnya. Merebut kembali kepercayaan pasar tidaklah mudah, tapi itulah tantangan terbesar yang harus dihadapi kini. Jika pemerintah mengulangi pola kerjanya yang lamaantara lain dengan gaya petantang-petenteng mencari musuhrupiah, yang pekan lalu sempat menguat, bisa segera melemah. Terlebih lagi dalam situasi panas menjelang sidang tahunan MPR, Agustus mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo