JIKA Anda punya impian kondisi ekonomi bakal segera pulih, lupakan harapan itu. Ketidakpastian politik yang dipicu perseteruan menegangkan antara presiden dan parlemen tidak akan membantu. Konflik berdarah di berbagai daerah belum berhenti menakuti investor. Namun, bahkan jika dua hal berat itu bisa segera diatasi, ada torpedo lain yang senantiasa siap menindas setiap upaya perbaikan ekonomi: penyakit kronis korupsi yang belum enggan pergi meninggalkan kita.
Dalam auditnya yang terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya 779 kasus penyimpangan keuangan yang merugikan negara sebesar Rp 209 triliun, atau 46 persen dari anggaran 1999/2000 (lihat halaman 104). Karena perbedaan metode audit, sulit untuk membandingkan apakah derajat korupsi ini lebih parah dari periode-periode sebelum reformasi. Namun, melihat jumlah absolut serta persentasenya, tak terbantahkan bahwa korupsi tetap—seperti di era Soeharto—merupakan kanker sosial-ekonomi yang mencekam.
Jika mengalirnya investasi bisa dianggap sebagai salah satu kunci yang akan menggerakkan roda perekonomian, korupsi jelas bukan teman yang bisa memikatnya. Dalam bisnis internasional, korupsi makin disadari sebagai pertimbangan keputusan investasi yang penting. Krisis keuangan Asia 1997 mengajarkan hal itu.
Sebelum krisis, banyak investor memandang korupsi di Asia tak lebih sebagai bagian dari adat setempat dan, karena itu, bisa dimaklumi. Permakluman seperti itu kini sulit dipertahankan.
Ada korelasi tinggi antara besarnya kejatuhan indeks bursa saham suatu negara dan peringkat negara itu dalam indeks korupsinya. Tiga negara Asia yang indeks sahamnya terbanting secara dramatis pada 1997, yakni Indonesia, Thailand, dan Filipina, terbukti merupakan negara papan bawah dalam peringkat kebersihannya dari korupsi. Menurut sebuah studi, para investor memiliki peluang merugi 70-74 persen dari dana yang ditanamkan di ketiga negara itu. Dan Transparency International menempatkan Indonesia dalam posisi paling korup dari ketiganya.
Data 1999 tidak membuat kita lebih gembira. Transparency International masih menempatkan Indonesia di peringkat 96—cuma dua tingkat lebih baik dari Kamerun, negeri yang paling korup sedunia. Bandingkan dengan Thailand (peringkat 68) dan Filipina (54).
Dampak korupsi terhadap kepercayaan investor sulit diabaikan. Lemahnya institusi hukum memustahilkan kepastian berusaha. Pemberian lisensi berdasarkan suap serta koneksi, dan bukannya merit, berakibat pada rusaknya iklim usaha yang sehat. Perlombaan menyediakan jasa serta produk bagus dengan harga kompetitif tak lagi punya arti. Konsumen rugi, demikian pula pengusaha.
Sulit untuk menyatakan bahwa pemerintahan Abdurrahman Wahid tidak peduli dengan pemulihan ekonomi. Dengan tubuhnya yang ringkih, Presiden rela berkampanye ke seantero dunia untuk meyakinkan investor. Namun, kampanye seperti itu mubazir belaka tanpa disertai perhatian yang lebih serius untuk memberantas korupsi. Dan lebih sia-sia belaka jika Presiden tak bisa memberikan citra bersih korupsi di lingkungannya sendiri.
Pemberantasan korupsi tidaklah sekadar demi "pemulihan ekonomi". Negeri ini bahkan tidak membutuhkan ekonominya "pulih" seperti di masa Orde Baru, ekonomi yang semarak di luar tapi keropos di dalam. Pembasmian korupsi adalah jalan keselamatan, yang mungkin panjang tapi memberikan jaminan fundamental ekonomi lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini