Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sepatutnya negara lemah menghadapi Asian Agri, yang didenda triliunan rupiah karena menggelapkan pajak. Mengintervensi kasus Asian Agri-termasuk dengan dalih melindungi karyawan kelompok itu yang rekening perusahaannya diblokir Direktorat Jenderal Pajak-adalah perbuatan tak pantas. Memberi kelonggaran sekecil apa pun, dengan dalih apa pun, akan membenarkan pendapat sinis yang menyebutkan negeri ini telah lama didikte korporasi besar.
Asian Agri Group boleh saja berdalih bahwa ke-14 anak perusahaannya yang didenda itu tidak pernah diadili. Tapi vonis kasasi pada 18 Desember 2012 begitu benderang: terdakwa Suwir Laut dihukum dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun karena memanipulasi laporan pajak pada 2002-2005. Putusan ini juga mewajibkan Asian Agri membayar denda Rp 2,5 triliun-dua kali lipat pajak yang seharusnya dibayar.
Suwir Laut bukan orang sembarangan. Dialah Manajer Pajak Grup Asian Agri milik Sukanto Tanoto-orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes pada 2006. Pertimbangan putusan menyatakan secara gamblang bahwa perbuatan Suwir berbasis kepentingan bisnis 14 perusahaan Asian Agri. Akibatnya, tanggung jawab pidana Suwir dibebankan kepada korporasi. Pertimbangan lain: korporasi dianggap mendapat keuntungan dari manipulasi pajak itu.
Majelis kasasi bahkan menjelaskan tren praktek hukum perpajakan. Korporasi harus bertanggung jawab atas perbuatan seorang karyawan apabila ia melakukan perbuatan itu secara fungsional atau menjalankan tugas sebagai pegawai. Hukum perpajakan di Belanda telah mengadopsi cara ini untuk menertibkan pelanggaran pajak badan atau korporasi.
Pemerintah Indonesia, yang kini kedodoran mengejar target penerimaan pajak, mesti tegas menerapkan prinsip itu. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto Indonesia hanya sekitar 12 persen, paling rendah di Asia. Rasio ini setara dengan tingkat penerimaan pajak di negara miskin. Adapun negara maju telah mencapai rasio 20-30 persen.
Selama ini, pemerintah kurang agresif memungut pajak-terutama pajak korporasi. Padahal pungutan pajak amat penting bagi peningkatan anggaran negara sekaligus upaya mendistribusikan kemakmuran secara lebih adil. Memburu pajak korporasi akan lebih strategis dibanding mengumpulkan pajak recehan dari pedagang kaki lima atau pengusaha warung Tegal. Dengan kata lain, penertiban pajak korporasi mesti jadi prioritas.
Mengejar pajak Asian Agri, negara seharusnya berterima kasih kepada Vincentius Amin Sutanto, bekas karyawan Asian Agri Group yang membongkar skandal pajak terbesar itu, tujuh tahun lalu. Vincent dituduh ikut memanipulasi pajak dan dihukum sebelas tahun penjara, jauh lebih berat ketimbang vonis Suwir Laut.
Vincent bebas setelah akhirnya mendapat remisi. Tapi rasa keadilan masyarakat tetap tercabik-cabik karena hukuman bagi Suwir dan Asian Agri belum terlaksana. Praktis, Suwir belum perlu masuk bui karena hanya dihukum percobaan. Denda untuk Asian Agri pun masih menanti tenggat eksekusi.
Atas dasar putusan kasasi kasus Suwir Laut, Direktorat Jenderal Pajak juga telah mengeluarkan surat ketetapan pajak untuk Asian Agri. Termasuk beban bunga, total tagihan yang harus dibayar sebesar Rp 1,9 triliun. Asian Agri telah membayar 50 persen tagihan, tapi pembayaran ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi lantaran grup bisnis itu mengajukan permohonan banding. Penyelesaian tagihan ini terpisah dengan denda pidana yang harus dibayar Asian Agri. Tagihan pajak terutang Rp 1,9 triliun akan masuk penerimaan pajak.
Adapun denda pidana Rp 2,5 triliun masuk penerimaan bukan pajak dan eksekusinya menjadi wewenang Kejaksaan Agung. Eksekusi pidana denda ini harus tetap dilakukan kalaupun Asian Agri mengajukan permohonan peninjauan kembali. Kejaksaan telah mendata sejumlah aset Asian Agri berupa bangunan, tanah, dan perkebunan kelapa sawit. Tujuannya untuk memudahkan eksekusi putusan bila grup bisnis itu tak mau membayar.
Hanya, sebagian aset Asian Agri itu kabarnya telah dijadikan agunan untuk mendapat pinjaman dari sebuah bank di London. Kejaksaan perlu menelisik: apakah ada upaya Asian Agri untuk menyembunyikan aset demi menyulitkan eksekusi. Kejaksaan juga mesti mendata dan memblokir aset yang lain untuk memudahkan eksekusi pidana denda.
Jangan sampai negara ini tampak tak berdaya menghadapi Asian Agri. Penundaan eksekusi dengan dalih apa pun akan memberikan sinyal buruk bagi kepatuhan membayar pajak sekaligus mencederai rasa keadilan rakyat.
berita terkait di halaman 98
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo