Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jari, Jarum, dan Garin Nugroho

Film terbaru Garin Nugroho bertutur tentang kekerasan yang dilakukan pada tubuh. Film yang cemerlang dan berhasil menjadi Film Pilihan Tempo tahun ini

7 Desember 2018 | 09.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
utradara Garin Nugroho kembali menghadirkan karya film panjang terbaru berjudul “Kucumbu Tubuh Indahku” (Memories of My Body). Film ini berhasil masuk dalam sesi bergengsi Orizzonti Competition, Venice Film Festival ke-75 yang akan berlangsung pada tanggal 29 Agustus-8 September 2018

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuhnya tak pernah memberi nama pada dirinya sendiri; tak pernah membedakan gender lelaki, perempuan. Setiap kali ruhnya menggerakkan jari-jarinya, kakinya, matanya dan membentuk keindahan, maka saat itu Wahyu Juno akan menjadi penari yang menyatu dengan fitrahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wahyu Juno (diperankan dengan bagus oleh penari Rianto) bercerita menatap kamera, berbicara tak hanya dengan suara, tetapi juga dengan seluruh tubuhnya sekaligus sepasang matanya. Tentang masa kecilnya, tentang masa remaja dan tentang masa dewasa. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana sepanjang hidupnya, tubuh Juno  selalu menjadi pusat perhatian sekaligus pusat persoalan justru karena keindahannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dan Juno dewasa pun membuka layar masa kecil: kita berkenalan dengan si kecil Juno (Raditya Evandra) yang tak pernah mengenal ibunya. Si Bapak begitu saja meninggalkannya dan membiarkan tetangganya yang mengurus Juno. Belakangan, melalui mulut salah seorang sanak, Juno baru mengetahui bapaknya dituduh terlibat dalam tragedi 1965. Tetapi itu semua bukan sesuatu yang dipahami si kecil Juno, seperti halnya dia juga tak paham mengapa setiap orang dewasa tertarik dengan gerak tubuhnya yang lentur. Sejak kecil, Juno satu-satunya lelaki di kampungnya yang dianggap layak untuk menjadi penari Lengger.

Menari Lengger. Ini nama yang biasa saja di masa lalu, tetapi jaman sekarang dianggap sebagai suatu ketidakwajaran. Lengger Lanang yang berasal dari Banyumas adalah sebuah tradisi yang sudah berabad-abad usianya yang pernah menjadi inspirasi dalam penulisan Serat Centhini. Garin dengan berani menampilkan Juno, sang protagonis sebagai penari Lengger, penari lelaki yang menari sebagai perempuan, dan tak jarang bersikap luwes seperti perempuan di luar panggung.

Tetapi Garin tidak sekedar menciptakan tokoh lelaki yang senang menari belaka. Garin juga memberi konteks bagaimana lingkungan dan tokoh-tokoh keluarga Juno sungguh ganjil sehingga sejak usia dini, Juno  sering menjadi saksi kekerasan. Adegan Sujiwo Tejo yang menyiksa pacar isterinya hingga darah si lelaki menyembur-nyembur itu disaksikan Juno kecil. Itu salah satu peristiwa yang menciptakan luka besar pada jiwa Juno, selain luka ditinggalkan Bapaknya.

Dari satu lelaki ke lelaki lain yang merasa memiliki dan menikmati tubuhnya, Juno tetap setia pada fitrahnya: dia seorang penari yang setia untuk mengikuti ruhnya yang menggerakkan tubuh. Bahwa ada bupati yang telanjur kesengsem padanya atau ada warok reog yang juga menganggap Juno sebagai teritorinya, sebetulnya Juno tahu dia tak pernah dimiliki siapapun, bahkan oleh orang tuanya.

Kali ini  karya Garin yang ditayangkan di Festival Film Venice adalah sebuah karya yang lebih naratif dibanding film-film sebelumnya. Dia  menyusun cerita dengan rapi meski tetap memberi ruang yang luas untuk interpretasi setiap karakter, setiap adegan dan bahkan pada setiap gerakan. Bukan hanya seksualitas Juno yang sengaja dibuat kabur, tetapi bahkan tokoh-tokoh lain semuanya berada di garis perbatasan.

 

Sutradara Garin Nugroho kembali menghadirkan karya film panjang terbaru berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku" (Memories of My Body). Film ini berhasil masuk dalam sesi bergengsi Orizzonti Competition, Venice Film Festival ke-75 yang akan berlangsung pada tanggal 29 Agustus-8 September 2018

Ada beberapa jejak khas Garin yang mengingatkan pada film-film sebelumnya: seperti jari yang terluka oleh jarum jahit dan darah yang dihisap yang pernah tampil dalam film Cinta dalam Sepotong Roti (1991) dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995). Bagi mereka yang memahami kosa kata filmografi Garin, akan tahu bahwa inilah  cara Garin menunjukkan sensualitas dan seksualias, selain kalimat “lubang dalam hidup” yang berulang-ulang disebut dan divisualkan melalui si kecil Juno yang kencing ke dalam  lubang tanah. Tapi yang lebih menarik lagi, seperti yang diperbincangkan di Ubud Writers and Readers  Festival 2018 pekan lalu, bukan hanya puteri Garin, Kamila Andini yang merasa sering ‘dituduh’ terpengaruh gaya sinematik ayahnya.  Kini justru sang Ayah yang terpengaruh bahasa sinematik anaknya. Misalnya adegan menari di atas tempat tidur dalam film ini jelas mengingatkan kita pada film The Seen and Unseen karya Kamila Andini – yang juga ditayangkan di Ubud Writers and Readers Festival ini—menjadikan adegan si kembar menari di tempat tidur sebagai bagian paling mengesankan dalam film itu.

Hal lain yang tak kalah penting adalah tokoh Juno dewasa yang penuh ekspresi menabrak 'tembok' antara dirinya dan penonton – atau istilahnya breaking the fourth wall—sehingga kita berhasil manut dengan ajakannya untuk menjenguk masa remajanya yang sensual sekaligus menyiksa.

Bagi Garin, film terbarunya adalah "sebuah pernyataan sekaligus kritik". Dia ingin menyatakan bahwa persatuan maskulinitas dan femininitas adalah suatu hal yang wajar di negeri ini sejak berabad-abad lamanya. Garin menyadari betapa semakin berlebihan sikap masyarakat terhadap kesenian tradisional hingga terjadi pelarangan-pelarangan yang kemudian menghilangkan nama mereka sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Kritik Garin yang terasa keras di dalam film ini adalah bagaimana brutalitas terhadap tubuh (perempuan maupun lelaki) dianggap sebagai sesuatu yang lazim oleh masyarakat.

Film ini mungkin salah satu film Garin yang digarap dengan  baik, selain Daun di Atas Bantal, Rindu Kami Padamu, Opera Jawa, dan Setan Jawa. Di dalam film ini, meski dia kini memilih bertutur dengan sederhana, tapi Garin sengaja membuat berbagai adegan yang pasti akan melahirkan diskusi dan bahkan debat. Misalnya: mengapa para perempuan dalam film ini hampir semuanya menjengkelkan dan ke mana sang Ibu yang begitu dirindukan? Mengapa Garin tampak sangat menahan diri untuk menggambarkankan keintiman tokoh-tokohnya (yang tentu saja saya asumsikan karena penonton Indonesia semakin konservatif) dan mengapa bapak Juno  hanya digambarkan sekilas saja  sebagai korban 1965?

Tetapi, sekali lagi, saya bahagia tahun ini akhirnya menyaksikan sebuah film Indonesia yang digarap dengan serius yang isinya dan para tokohnya memberikan peluang untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Yang lebih penting lagi: Rianto adalah bintang baru yang layak diperhatikan dan akan berkembang menjadi aktor masa depan kita.

 

Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body)

Sutradara: Garin Nugroho

Skenario: Garin Nugroho

Pemain: Raditya Evandra, Muhammad Khan,  Rianto, Sujiwo Tejo, Teuku Rifnu Wikana, Whani Dharmawan, Endah Laras

Produksi: Four Colours Films

 

Leila S. Chudori

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus