Saya bukan anti-Nurcholish Madjid, bukan antiHarun Nasution -- keduanya pribadi cukup baik buat saya. Tapi saya menolak tulisan TEMPO pada TEMPO 14 Juni, yang menyatakan, setidak-tidaknya, membayangkan bahwa Dr. Nurcholish Madjid adalah pembaru ajaran Islam di Indonesia. Menurut saya pribadi, pernyataan itu salah 100% begitu juga Dr. Harun Nasution. Pengibaratan TEMPO bahwa Nurcholish Madjid seperti lokomotif penarik gerbong gerakan pembaruan ajaran Islam di Indonesia adalah jauh panggang daripada api. Yang benar, beliau adalah lokomotif kecil penarik gerbong kereta api HMI lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Itu seperti juga Dahlan Ranuwihardjo di masa jaya-jayanya Bung Karno tahun 50-an -- waktu itu saya juga lokomotif HMI 1954 di PTAIN Yogyakarta bersama Kafrawi, Ludjito, dan lain-lain. Nurcholish Madjid hanyalah salah satu peneriak pembaruan ajaran Islam di Indonesia yang sudah dipelopori Kiai Dahlan -- Muhammadiyah -- (1912), Kiai Hasyim Asy'ary -- NU-(1926), Bung Karno-Natsir (1938), HAMKA, Rasjidi, Z.A. Ahmad, Yunan, Kiai Mansyur, dan lain-lain pada tahun 40-an, Sanusi, Mintaredja, Lapran, Dahlan, dan Hasbullah Bakry di tahun 50-an. Orangorang terpelajar harus bisa membedakan antara tukang teriak pembaruan dan pembaru sejati. Pembaru ajaran Islam sejati tidak mungkin tanpa keahlian. Fikih Islam dan keahlian Perbandingan Agama (khususnya Kristologi) dan Filsafat Hukum -- khususnya, Hikmatut Tasyri' bagi Ayatu/Ahkam. Mengapa? Sebab, dalam fikih Islam itulah tempatnya hal-hal yang perlu diperbarui itu. Dari tulisan Nurcholish dan Harun, jelas mereka belum menguasai Fikih Mazhab, apalagi Muqaranah Mazhab Empat, yang tampak pada mereka hanya pengaruh orientalisme Barat. Malah pada Harun lebih buruk menyamakan, free-choice fikih dalam tauhid. Ketika busana wanita dibicarakan (soal kerudung), juga soal sujud syukur dan gadis hamil dibahas ramai di Indonesia -- boleh kawin atau tidak -- ternyata Harun dan Nurcholish diam seribu bahasa. Inikah namanya lokomotif pembaru itu? Saya katakan, seorang pembaru juga perlu menguasai Perbandingan Agama khususnya Kristologi, karena di zaman modern ini yang paling menggelitik merayu Teologi Islam adalah dari Teologi Kristen Barat itu. Di satu pihak pendapat Mutakallimin dan Falasifah Islam perlu dikoreksi, sedangkan di pihak lain orang kagum pada filosofi Barat yang amat menarik. Bagaimana kita dalam pembaruan itu jangan malah salah pilih seperti apa yang diajarkan Dr. Harun Nasution pada calon-calon doktor IAIN -- yakni supaya memilih prinsip la yashduru 'anil wahid illa syaiun wahid (Nothing can come from nothing), yang berasal filsafat Yunani via Ibnu Rusydi itu. Inilah pendapat Dr. Harun yang dikritik Dr. Rasjidi dalam Pelita 9 November 1985 dan pernah juga saya koreksi sebelumnya dalam Pelita 16 September 1983 berjudul: "Suatu Koreksi Terhadap Pembaharuan Dr. Harun Nasution". Memilih prinsip itu sama saja seperti kita memihak Historis (Dialektis) Materialisme dari kaum Komunis dan kaum Ateis yang tak ber-Tuhan. Mengapa? Bukankah itu berarti ada "dua yang Azali" yakni materi dan Tuhan, atau "tidak ada Tuhan yang Azali" lagi, karena Tuhan Sang Pencipta jadinya mesti ada lagi yang menciptakan, dan Sang Pencipta Tuhan itu ada lagi yang menciptakannya? Terus berputar-putar. Teori demikian itu absurd (kacau) namanya tidak ada ujung tidak ada pangkal seperti menghasta kain sarung. Karena itulah, Immanuel Kant mengoreksi pendapat demikian dalam bukunya berjudul Kritik Der Reinen Vernunft. Menurut Kant, harus dibedakan antara Akal Murni dan Akal Praktis yang dihajati manusia seperti ditunjukkan dalam kehidupan manusia beretik dan beragama bahwa Akal Praktis itu memang diperlukan (lihat bukunya berjudul: Kritik Der Praktischen Vernunft). Bagi umat Islam, sudah benar pilihan Ahli Sunnah dalam sengketa ini yakni memilih pendapat Al-Ghazali bahwa hanya Allah Sang Pencipta selebihnya adalah makhluk, yakni ciptaan semata (lihat Yasin: 82 dan Ar-Rum: 22, 25-26). Umat Kristen sendiri lebih memilih Agustinus yang terkenal pendapatnya bahwa Tuhan mencipta dari kekosongan (Creatio ex Nihilo) daripada pendapat Averroisme Siger van Brabant. Malah pada 1270 dan 1277 ajaran Averroisme dilarang dalam Gereja secara resmi. Yang paling ganjil dan mengherankan, sikap Harun dan Nurcholish. Kalau Harun dan Nurcholish ingin jadi pembaru sejati di Indonesia ini, mereka harus menjawab koreksi Dr. Rasjidi dan saya. Mengapa mereka berdiam diri saja jika dikritik? Nurcholish, sesungguhnya, masih berutang pada koreksi saya dalam harian KAMI tanggal 17-18-19-20, dan 22 Januari 1973 yang berjudul Membangun Agama Islam di Indonesia dalam Wadah Pancasila. Dalam menjawab wawancara TEMPO yang berbunyi: "Apakah makin meluasnya syiar Islam di Indonesia, antara lain karena gerakan pembaruan itu?" Nurcholish menjawab: "Saya ingin sekali mengakui itu hasil kami." Saya menganggap jawaban Nurcholish ini makin membayangkan kekerdilan beliau sebagai tokoh. Sudah tidak pernah menjawab kritik orang, lalu mengakui hasil usaha orang banyak kayak usaha dia sendiri. Apakah dengan pameran Syu'bah Asa dalam TEMPO itu tiba-tiba Pemerintah merasa ditolong oleh Nurcholish Madjid? Saya mau bertanya, tulisan Nurcholish yang mana, yang membela Asas Tunggal Pancasila itu? Beberapa tokoh Islam menyerang Pancasila menjadi asas tunggal dan yang membela Asas Tunggal Pancasila untuk umat Islam itu secara makalah ilmiah setahu saya cuma satu (kecuali saya kebetulan tidak tahu) atau, katakanlah, yang paling mendahului (karena kini banyak, barangkali) yaitu tulisan saya yang berjudul: "Dalil Umat Islam Menerima Pancasila sebagai Asas Tungga/Perjuangan". Tulisan itu dimuat harian Pelita tanggal 19 Februari 1983, harian Merdeka tanggal 21 Februari 1983, dan dalam majalah Kiblat, Maret 1983. Nurcholish, waktu itu, masih belajar di Amerika Serikat dan baru pulang dua tahun kemudian. Jadi, bagaimana wartawan TEMPO bisa bilang berhasilnya Asas Tunggal merupakan jasa Nurcholish. Apa jasa Nurcholish itu berjalan kayak siluman? Saya kira, Redaksi TEMPO mulai sekarang berhentilah mengorbitkan orang-orang tertentu untuk ditokohkan menjadi pembaru Islam. Islam tidak memerlukan pembaru orbitan. Kalau ada orang akan menjadi pembaru, dia akan bergerak sendiri -- tidak perlu ditokohkan. Sebab, dia merasa dirinya wajib melakukan pembaruan itu walaupun seluruh dunia ini menentangnya. Dan, nanti setelah dia mati, otomatis umat akan mengakui jasanya dan akan menganut pendapatnya yang diperlukan masyarakat Islam itu. Kalau ada jasa mendekatkan paham Islam pada ABRI yang sekarang besar pengaruhnya pada pemenntahan, jasa itu berasal dari para rohaniwan Islam ABRI, bukan berasal dari grup Nurcholish dan kawan-kawan itu. Rohaniwan ABRI itulah yang menumpulkan keruncingan sengketa antara Muhammadiyah dan NU sengketa Kaum Tua dan Kaum Muda, dan rohaniwan Islam ABRI itulah tempat bertanya Hankam/ABRI/ Golkar dan jenderal-jenderal lainnya. Dan, dari sanalah timbulnya keberanian Pemerintah mengasastunggalkan Pancasila itu. Sebenarnya, kalau pemerintah menunjuk tokoh dari Pusroh Islam ABRI itu menjadi menteri agama mungkin, tidak akan terjadi banyak simpang siur kericuhan seperti peristiwa Tanjungpriok itu dengan eksesnya perkara Fatwa dan kawan-kawan. Mengapa? Sebab, dari pangkalnya surat Sjafruddin dan Yunan diseminarkan. Di sana akan diadu secara resmi Sjafruddin dan kawan-kawan yang benar atau pendapat Hasbullah Bakry dan kawan-kawan (maksud saya pendapat pada rohaniwan Islam ABRI) yang benar. Namun, kita tidak boleh menyesali barang yang lalu yang penting bagaimana menghadapi politik keagamaan (Islam) yang benar di masa datang, sehingga Pancasila tidak ditunggangi untuk menghancurkan Islam. Dan, tidak juga sebaliknya menunggangi Islam untuk menghancurkan Pancasila. Semoga Allah swt. memberkati maksud baik kita. Amin. HASBULLAH BAKRY, S.H. Jalan Cipinang Baru Bunder 10 Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini