Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah memberikan penjaminan untuk mengatasi pembengkakan biaya proyek kereta cepat.
Cina membutuhkan jaminan negara karena dana investasinya itu bukan dana cuma-cuma.
Indonesia harus berhati-hati agar tidak masuk dalam jebakan utang ini.
Ronny P. Sasmita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Keuangan akhirnya memberikan penjaminan untuk mengatasi pembengkakan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Jaminan tersebut diberikan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Aturan yang dirilis pada 11 September 2023 itu mengatur soal penyediaan jaminan pemerintah bagi pencarian dana untuk menutup kenaikan atau perubahan biaya proyek kereta cepat ini. Penjaminan utang kereta cepat itu nantinya diberikan terhadap seluruh kewajiban keuangan PT Kereta Api Indonesia (KAI), penyelenggara proyek, yang timbul akibat pembengkakan biaya proyek tersebut, baik pokok pinjaman, bunga, maupun biaya lain.
Kenaikan biaya proyek KCJB mencapai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun. Pada awalnya, Cina mengajukan biaya proyek itu senilai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 83,6 triliun. Dalam perjalanannya, biaya proyek membengkak menjadi US$ 7,5 miliar atau Rp 114,1 triliun per November 2022.
Kendati demikian, untuk mendapatkan jaminan pemerintah tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan beberapa persyaratan khusus, seperti dukungan Komite Kereta Cepat Antara Jakarta-Bandung dan Menteri Perhubungan, nilai pinjaman, calon kreditor, rencana peruntukan pendanaan, proyeksi keuangan proyek, rencana mitigasi risiko gagal bayar, serta berbagai dokumen lain. Berbeda dari awal perencanaan dan permulaan proyek, Presiden Jokowi saat itu menyatakan bahwa proyek tersebut akan dibangun tanpa menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tapi diserahkan kepada badan usaha milik negara.
Mengapa Cina meminta jaminan APBN atas investasi serta utang yang telah digelontorkan untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung? Sebenarnya, tata cara dan prinsip kerja sama bisa saja berubah sewaktu-waktu, bergantung pada kesepakatan kedua pihak, yakni Indonesia dan Cina. Apakah ini lazim? Sepengetahuan saya, hal tersebut cukup lazim dalam konteks investasi dan utang yang diberikan Cina ke negara lain. Cina biasa melakukan tekanan seperti itu kepada negara lain yang menerima investasi dan utang Cina. Apalagi belakangan ini banyak negara, terutama di Afrika dan Asia (Sri Lanka dan Pakistan), berbalik ke Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menutup utangnya kepada Cina.
Melihat fenomena tersebut, belum lama ini Francis Fukuyama menuliskan kekhawatirannya tentang perkembangan pembayaran kembali utang negara-negara berkembang kepada Cina dalam proyek-proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) dalam artikel "China's Road to Ruin: The Real Toll of Beijing’s Belt and Road" dalam Foreign Affairs edisi Agustus 2023. Mengingat cukup banyak negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang berpaling ke IMF untuk menutup beban utang kepada Cina yang terbilang sudah sangat membebani kapasitas fiskal negara-negara berkembang, menurut Fukuyama, akan menimbulkan kekhawatiran baru karena berpotensi mengganggu stabilitas serta ketahanan keuangan IMF.
Cina pun khawatir atas investasi dan utang yang telah digelontorkan ke banyak negara karena dana yang dipakainya bukanlah dana yang berkategori "Marshall Plan" alias bukan dana cuma-cuma, melainkan dana yang memang diperuntukkan untuk mendapatkan imbal (return) yang sepadan. Pengecualian hanya berlaku dalam beberapa kasus, terutama bagi negara-negara yang memiliki nilai sangat strategis bagi Cina. Dalam konteks inilah Cina berkeras meminta jaminan fiskal resmi dari negara tempat utang dan investasinya digelontorkan.
Peraturan Menteri Keuangan tentang penjaminan untuk KCJB bergerak dalam logika yang sama. Peraturan ini hanyalah formalisasi dari isu yang sudah lama bergulir bahwa Cina meminta jaminan APBN untuk utang kereta cepat. Isu itu setidaknya sudah sejak tahun lalu bergulir setelah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pulang dari Cina.
Namun, bagi yang memahami cara kerja investasi Cina pasti akan memahami mengapa ujung-ujungnya akan seperti ini. Sayangnya, tak banyak yang mendalami kebijakan investasi dan langkah "going out" Cina tersebut secara rinci sebelum berurusan lebih jauh dengan Cina. Nyatanya, Cina memerlukan jaminan atas kepastian pengembalian dananya di masa depan karena dana yang dipakai perbankan Cina untuk dipinjamkan atau dana perbankan Cina yang diberikan kepada BUMN atau korporasi swasta Cina untuk berinvestasi di luar negeri adalah berupa sovereign leverage fund (SLF). Jadi, dana yang dipinjamkan dan diinvestasikan itu bukanlah milik pemerintah Cina per se, melainkan bagian dari cadangan devisa Cina yang melimpah alias milik pengusaha eksportir Cina yang ada di People's Bank of China, bank sentral Cina. Di negeri itu, devisa tidak dipegang oleh perusahaan eksportir, melainkan ditahan di bank sentral.
Bank sentral Cina akan memberikan dolar kepada eksportir sesuai dengan kebutuhan impor dan bayar utang saja. Sisanya akan dikembalikan dalam bentuk yuan, bukan dolar, meskipun eksportir semestinya mendapatkan dolar dari aktivitas ekspornya. Sementara itu, di Indonesia, devisa dalam bentuk dolar langsung diparkir di akun perbankan eksportir.
Jadi, bank sentral Cina mencetak yuan untuk dikembalikan kepada eksportir, sedangkan dolarnya ditahan. Devisa tersebut kemudian dikelola oleh Administrasi Valuta Asing Negara (SAFE). SAFE memakai tangan special vehicle untuk perantara investasinya. Salah satunya adalah China Investment Corporation (CIC). Lalu, CIC menginvestasikan dana tersebut ke berbagai perusahaan dan perbankan. Dolar itulah yang dipakai Cina untuk membeli surat utang Amerika, membiayai proyek BRI, investasi di luar negeri, membiayai bank BUMN Cina untuk memberikan pinjaman kepada pengusaha di negara lain, atau mengakuisisi perusahaan strategis di luar negeri. Karena itulah, skema pendanaan itu disebut SLF, bukan sovereign wealth funds (SWF), sebagaimana dijelaskan Zongyuan Zoe Liu dalam Sovereign Funds: How the Communist Party of China Finances Its Global Ambitions (2023).
Dengan kata lain, dana tersebut tidak bisa dipinjamkan secara cuma-cuma. Dana itu harus diinvestasikan dan dipinjamkan secara komersial serta bunganya akan sulit dinegosiasikan karena, di satu sisi, bank sentral Cina juga harus membayar bunga kepada pemilik devisa dan, di sisi lain, tingkat kepastian pengembalian dananya harus sangat tinggi karena dana itu bukan dana pemerintah. Karena itulah, Cina membutuhkan jaminan kuat, terutama APBN dari negara destinasi utang dan investasinya.
Lalu, bagaimana dampaknya terhadap APBN Indonesia? Untuk sementara waktu secara nominal dampaknya tak akan terasa. Apalagi jika nanti kereta cepat beroperasi dengan baik, mendapatkan untung, dan bisa membayar cicilan dengan lancar. Cuma, secara laten, APBN Indonesia akhirnya tidak saja menanggung beban resmi pemerintah, tapi juga "utang tersembunyi" (hidden debt) yang telah dibuat oleh BUMN-BUMN dan entitas "unelected" lainnya.
Sebenarnya, secara halus, format jaminan seperti inilah yang dimaksudkan sebagai hidden debt dari Cina atau bisa pula disebut jebakan utang (debt trap) karena APBN menanggung beban utang yang tak dipungut oleh negara dan tanpa seizin rakyat melalui DPR, tapi oleh entitas usaha kerja sama BUMN dengan pihak lain.
Proyek kereta cepat ini harus benar-benar dijadikan pelajaran oleh pemerintah dan BUMN yang akan meneruskan proyek serupa sampai ke Surabaya. Secara komersial, proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya jauh lebih masuk akal ketimbang kereta cepat Jakarta-Bandung. Namun jangan sampai proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya menjadi ajang untuk memperdalam dan memperparah jebakan utang Cina.
Pemerintah harus memastikan bahwa proyek kali ini harus benar-benar bersifat business-to-business di satu sisi dan tidak ada jaminan APBN di sisi lain. Jika di tengah jalan ditemukan perubahan anggaran, hal itu perlu diselesaikan secara komersial. Jika pada akhirnya dianggap tidak layak dilanjutkan, sebaiknya ia tak dilanjutkan, daripada harus terjebak semakin dalam ke lubang jebakan utang yang sangat berpeluang memperburuk masa depan ekonomi nasional.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo