BOM-bom kimia, yang dimuntahkan oleh Irak beberapa minggu berselang atas wilayah permukiman minoritas Kurdi di wilayah Irak sebelah utara, telah menyentak ketidakpedulian internasional selama ini. Ketidakpedulian pada penggunaan senjata beracun itu tiba-tiba berubah menjadi kekhawatiran internasional. Senat Amerika Serikat pada 9 September lalu akhirnya meminta Gedung Putih untuk memberlakukan sanksi ekonomi atas Irak, setelah George Shultz, sang menteri luar negeri, mengemukakan bukti-bukti tak terbantahkan bahwa rezim Saddam Hussein telah menyebar gas beracun di daerall permukiman suku Kurdi yang berstatus minoritas di Irak. Tindakan Amerika itu, walaupun sangat terlambat, diharapkan masih bermanfaat. Sudah sejak 62 tahun yang lalu bangsa Kurdi yang tinggal di Pegunungan Zagros dan wilayah sekitarnya menginginkan sarbast atau kemerdekaan. Wilayah yang mereka tempati kebetulan merupakan interseksi empat negara, Turki, Syria, Irak, dan Iran. Enam puluh dua tahun yang lalu, pihak Sekutu, setelah Perang Dunia II usai, menekan Turki agar memberikan kemerdekaan pada Kurdistan. Tetapi Turki gagal melakukan ratifikasi. Sejak itulah bangsa Kurdi yang kini berjumlah 20 juta jiwa menjadi pion politik dan militer Irak, Iran, Turki, dan Syria. Pada waktu perang Iran-Irak berkecamuk, minoritas Kurdi di Irak miring membela Iran dengan harapan, bila Iran menang, otonomi penuh yang dicita-citakan akan dapat diperoleh. Di pihak lain kaum mujahidin khalq Iran yang anti-Khomeini berpihak pada Irak. Mereka malah bersatu dalam barisan Irak dengan pertimbangan, bila Irak menang, mereka akan dapat mencapai tujuan politiknya: menggusur Khomeini dan mendirikan pemerintahan baru, sudah tentu sesuai aspirasi mujahidin khalq yang berbau marxis itu. Baik Iran maupun Irak tidak dapat memenangkan perang dan menuju meja perundingan. Masing-masing pihak lantas berusaha menghukum mereka yang dianggap kolaborator dan pengkhianat. Tapi cara Saddan Hussein menghukum tiga juta minoritas Kurdi yang tinggal di wilayah utara Irak itu berada di luar peri kemanusiaan. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa apa yang telah dilakukan Saddam pada minoritas Kurdi itu sebagai suatu gejala genocide, mengarah pada pembunuhan masal, sengaja, dan sistematis. Bahkan banyak pengamat yang berpendapat Saddam ingin melakukan depopulasi, menghabisi sama sekali penduduk Kurdi di wilayah Irak. Jika tidak cepat dihentikan, tidak mustahil Saddam akan jadi Pol Pot Timur Tengah. Karena perhitungan-perhitungan politik dan militer regional dan internasional, negara-negara Barat, juga Amerika dan juga Uni Soviet, cenderung bungkam melihat penyalahgunaan senjata kimia oleh Irak selama perang melawan Iran. Perhitungan politik dan militer itu, antara lain, adalah bahwa senjata kimia merupakan alat ampuh untuk menahan laju tentara dan garda revolusi Iran. Nyatanya, semangat tempur pasukan Iran memang cepat melorot melihat penderitaan rekan-rekannya yang terkena bom beracun Irak: napas jadi sesak, mata nyeri, tenggorokan bagaikan terbacok, kulit hangus dan mengelupas. Pemandangan ngeri itu menjadi salah satu sebab mengapa pasukan Iran menjadi kendur semangat. Tampaknya, karena negara-negara besar membiarkan terus penggunaan senjata kimia oleh Irak, Saddam Hussein merasa diberi lampu hijau. Pada Maret lalu, sekitar 4.000 penduduk Kurdi di Halabja, daerah bagian utara Irak, dimusnahkan dengan gas mustard, sianida, dan gas saraf. Anehnya, reaksi internasional pada waktu itu dingin-dingin saja. Untung, ketika Saddam menjatuhkan kembali bom-bom kimia atas penduduk Kurdi setelah perang Iran-Irak usai, Amerika memberikan reaksi yang lumayan tegas. Protokol Jenewa 1925 melarang tegas penggunaan senjata kimia dalam peperangan. Sejak itu, dengan beberapa perkecualian kecil, berbagai perang yang terjadi memang tidak lagi menggunakan senjata kimia. Senjata yang fatal, letal, dan mengerikan itu ibarat Pandora yang sudah dimasukkan ke kotak dan tidak boleh dibuka. Dalam mitologi Yunani, Dewa Zeus mengirimkan sebuah kotak kepada Epimitheus. Kotak itu berisi Pandora, seorang makhluk yang lembut tetapi jahat yang akan merusakkan habis kemanusiaan bila sampai dikeluarkan dan kotaknya. Rupanya, Epimetheus tidak tahan untuk tidak membuka kotak itu, sekalipun Promotheus telah mengingatkan bahaya yang akan timbul. Ibarat Pandora, senjata kimia yang sudah tidur nyenyak itu telah dibuka kembali oleh Irak dalam perangnya melawan Iran dan dalam rangka menghabisi semangat bertempur minoritas Kurdi. Pertanyaan kita sekarang adalah, "Bisakah dunia mengendalikan godaan berbagai negara untuk tidak mengembangkan persenjataan kimia, setelah ternyata Irak 'berhasil' memanfaatkan senjata beracun itu? Dapatkah Pandora dimasukkan kembali ke dalam kotaknya Atau, meminjam istilah George Shultz, dapatkah jin yang sudah keluar dari botolnya dimasukkan lagi?" Mengingat senjata kimia cukup murah dan sangat efektif, godaan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengembangkannya jelas cukup besar. Membuat senjata kimia jauh lebih sederhana dan gampang dibandingkan membuat senJata nuklir. Karena ltu, proliferasi senJata kimia barangkali akan menjadi fenomena internasional pada tahun-tahun mendatang dan sulit dihentikan. Negara-negara Dunia Ketiga yang diduga memiliki senjata kimia di samping Irak adalah Mesir, Syria, Libya, Israel, Etiopia, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, RRC, dan Afrika Selatan. Bagi negara-negara miskin, senjata kimia dapat menjadi substitusi atau pengganti senjata nuklir. Israel termasuk yang paling takut melihat perkembangan persenjataan kimia itu di kalangan negaranegara tetangganya. Yitzhak Shamir sampai mengatakan, bila wilayah Israel kena bom kimia dari musuhnya, Israel akan membalas dengan bom nuklir. Mungkin sekali sikap tegas Amerika pada Irak baru-baru ini terutama didorong bukan oleh pertimbangan moral dan etis kemanusiaan. Kemungkinan besar sikap Amerika itu didasarkan, antara lain, atas kesadaran bahwa Israel benar-benar terancam oleh pertumbuhan senjata kimia di Timur Tengah. Untuk mencegah meluasnya senjata beracun ini, Senat Amerika buru-buru mendesak pemerintahnya untuk mengenakan sanksi ekonomi pada Irak. Tetapi harus dicatat, di masa lalu berbagai sanksi ekonomi itu tidak pernah efektif. Tidak efektif pada Antonio Noriega di Panama, pada Daniel Ortega di Nikaragua, dan juga tidak efektif di Afrika Selatan. Kira-kira sanksi ekonomi Amerika atas Saddam di Irak pun kali ini sama saja. Selain terlalu ringan, juga sudah sangat terlambat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini