Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemilihan Umum pada Selasa malam menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dengan memperoleh 70.997.833 (53,15 persen) suara. Adapun lawannya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, memperoleh 62.576.444 (46,85 persen) suara. Joko Widodo langsung menyampaikan pidato kemenangan di atas kapal pinisi yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai komitmennya menegakkan kembali kejayaan maritim.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera memberikan ucapan selamat—ucapan selamat pertama dari pejabat negara. Para pemimpin dunia pun menyusul. Bagaimana dengan Prabowo dan Hatta? Jangankan memberikan ucapan selamat, Prabowo bahkan menunjukkan perlawanan sebelum KPU selesai merekapitulasi seluruh penghitungan. Ketika rekapitulasi di DKI Jakarta alot, Prabowo meradang dari markas pemenangannya, Rumah Polonia, dan menarik saksinya dari KPU.
Tanpa didampingi Hatta, Prabowo menyatakan "menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum dan kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung". Ia menginstruksikan saksinya di KPU tidak meneruskan proses rekapitulasi suara. Setelah DKI Jakarta, KPU masih melanjutkan rekapitulasi suara untuk Jawa Timur dan Sumatera Utara, yang tentu saja berjalan lancar, sampai keputusan KPU tentang pemenang pemilu presiden diumumkan malam itu.
Langkah Prabowo sangat disayangkan dan jauh dari sifat kesatria, mengingat latar belakangnya sebagai tentara. Undang-Undang Pemilihan Presiden tak mengenal istilah "menarik diri dari proses yang sedang berlangsung". Apalagi prosesnya sudah di ujung, sisa empat suara provinsi yang belum direkap. Kalau "menarik diri" diartikan mengundurkan diri—apa pun alasannya—Prabowo terkena sanksi pidana sesuai dengan Pasal 246 ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Hukuman maksimumnya 6 tahun penjara dan denda Rp 100 miliar.
Prabowo kalap karena ia mendapat laporan bahwa pilpres penuh kecurangan. Ia menuding hampir semua TPS di Jakarta bermasalah dan Badan Pengawas Pemilu sudah merekomendasikan kepada KPU agar diselenggarakan pemungutan suara ulang. Ternyata Bawaslu tak pernah merekomendasikan hal itu, hanya ada 13 TPS yang perlu pemungutan suara ulang.
Prabowo melansir banyak kecurangan lain, sesuatu yang seharusnya tak membuat ia kalap lantas "menarik diri dari proses". Ada aturan untuk mencari keadilan, yakni ke Mahkamah Konstitusi. Para penasihat Prabowo tampaknya ingin "jalan lain" di luar MK, seperti menggugat lewat Pengadilan Tata Usaha Negara, juga lewat jalur politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan dilontarkan agenda yang—maaf—sangat konyol, yaitu meminta Presiden Yudhoyono membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang perpanjangan masa jabatannya setahun dan pilpres diulang tahun depan.
Kenapa jalur MK dihindari? Adalah Mahfud Md., ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta, yang merasa tak ada gunanya menggugat ke MK kalau selisih suara di atas dua persen. Selain sulit pembuktiannya, selisih suara terlalu besar sukar mengubah keputusan pemenang. Mantan Ketua MK ini sudah mengundurkan diri begitu keputusan KPU dikeluarkan. Memang ada orang di sekeliling Prabowo yang tetap ingin membawa kekalahan ini ke MK. Misalnya Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra yang juga sekretaris tim pemenangan Prabowo-Hatta. Jika langkah itu ditempuh, Prabowo menjilat ludah sendiri. Menggugat ke MK berarti bersedia mengikuti proses.
Kini hanya satu pilihan yang membuat Prabowo tidak dicemooh, yaitu legawa mengakui kekalahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo