Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

JPC

27 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada batu marmer yang sudah kusam, di tembok ruang bawah Museum Wayang di Kota Tua Jakarta, terukir sebuah nama:

DIE STICHTER VAN BATAVIA
JAN PIETERSZOON COEN
IN 1634

Sang pembangun Batavia" yang dikuburkan di sana juga seorang yang bersemboyan, tercatat pada 1618: "Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab kita bersama Tuhan."

Ia memang seorang Kristen yang keras, seorang administrator penegak disiplin, dan tentu saja seorang pelaksana hasrat VOC untuk menguasai persaingan dagang di Asia di abad ke-17.

Empat tahun setelah mengucapkan kalimatnya itu, gubernur jenderal perhimpunan dagang Belanda itu menyerbu Banda. Dengan pasukannya ia bantai ribuan penduduk yang melawan dengan sengit; ia perintahkan satu regu samurai Jepang yang disewanya untuk memancung serentak penghulu-penghulu setempat yang tak mau menyerah.

Di bawah ancaman senjata, orang Banda tak boleh menjual buah pala mereka kepada orang Inggris atau siapa pun. Rempah-rempah itu hanya untuk VOC yang kemudian menjualnya di pasar Eropa dengan laba berlipat-lipat.

Tak jelas bagaimana Tuhan ada dalam kebuasan dan keserakahan itu. Mungkin bagi Coen, Tuhan adalah Ia yang memegang pedang, menegaskan kesalehan, dan menyusun pembukuan. Suatu hari Coen mengetahui seorang gadis remaja asuhannya bermain cinta dengan seorang pemuda Indo-dan mereka melakukan perbuatan itu di ruang pribadinya. Sang gubernur jenderal murka. Wajahnya memucat dan meja yang dipeganginya bergetar. Ia perintahkan pemuda itu dipotong lehernya dan gadis itu ditenggelamkan.

Agaknya ia merasa jadi penjaga moral di kota yang dibangunnya-moral ala kaum borjuis Belanda yang dibentuk Gereja Reformasi yang puritan, yang waspada kepada seks dan hemat dengan sensualitas, yang selalu menahan diri dari sikap yang berlebihan. Singkat kata: seperti tokoh makelar kopi dalam novel Max Havelaar, pedagang yang takut boros dan hanya berpikir tentang "manfaat"-atau laba.

Tapi keketatan macam itu tak mudah buat kota yang dibangun Coen nun jauh di negeri tropis di abad ke-17. Di awal hidup Batavia, mayoritas penghuni adalah laki-laki. Jean Gelman Taylor menggambarkannya dalam The Social World of Batavia sebagai "serdadu dan kelasi yang telah tercerabut dari tanah asalnya", yang ditempatkan "di barak-barak di pinggiran peradaban yang asing". Perempuan makhluk yang langka. Kalaupun ada, mereka wanita pribumi yang dianggap rendah, mudah berahi, gampang menyerah. Kebanyakan budak belian. Dalam satu catatan tahun 1618 dilaporkan: tiap malam berlangsung "orgi" antara laki-laki bebas dan "perempuan-perempuan hitam".

Benar atau tidak cerita itu, Coen tak jenak dengan kehidupan sosial Batavia. Ia pun mengeluarkan peraturan: barang siapa yang tinggal dalam "republik Jacatra" dilarang memelihara satu atau dua budak perempuan, seorang gundik atau lebih. Tak boleh wanita Kristen berhubungan seks dengan pria yang tak beragama (heidense) atau Arab (Moor).

Hasrat untuk kemurnian-yang kadang-kadang mirip kesucian-mendorong Coen, atau siapa pun, untuk menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia menghancurkan Jakarta ("Jacatra"). Dimusnahkannya dua bangunan yang jadi pusat kota: kabupaten dan masjid. Di atas puing-puingnya ia dirikan "Kasteel Batavia"-yang segera jadi sebuah ruang isolasi. Penduduk asli sudah meninggalkannya, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitarnya hutan berisi binatang buas. Pada 1642 ada larangan bagi perempuan untuk ke luar gerbang "Kastil". Para budak belian tak boleh dijual pemiliknya kepada orang Yahudi, Islam, atau yang tak bertuhan.

Dalam The Social World of Batavia digambarkan bagaimana alimnya kehidupan di Kastil itu, yang dikuasai Gereja Reformasi, satu-satunya denominasi Kristen yang diperbolehkan. Kebaktian diselenggarakan di Balai Kota, doa pagi dan malam berlaku di Kastil, dan para pejabat dan pegawai VOC berpuasa menjelang kapal niaga mereka berangkat. "Tak ada yang lebih mampu menyatukan hati orang ketimbang kesatuan iman dan dijalaninya agama secara benar," tulis Coen dalam suratnya kepada para pembesar VOC di Amsterdam.

Seperti lazimnya orang yang taat beragama, Coen menyangka Tuhan bersamanya dan kehendaknya akan jadi. Tapi sejarah menunjukkan, Batavia proyek yang gagal. Ia dibangun sebagai transplantasi kota Belanda, ia diharapkan akan memenangkan ajaran Calvinis yang lurus. Tapi kelembapan kota, berjangkitnya malaria, dan keinginan manusia untuk hidup tanpa merasa takut dosa membongkar desain itu. Kastil ditinggalkan. Kebudayaan Kristen Eropa lumer oleh pengaruh kebudayaan Indonesia yang beragam dan yang terus tumbuh. Yang murni hilang, yang campuran jadi-sebuah kebudayaan mestizo yang berlaku di Jakarta hingga hari ini.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus