Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nurhadi bekerja untuk memenuhi hak publik atas informasi yang jelas dan berimbang.
Pelaku kekerasan terhadapnya menyerang hak publik dan melanggar undang-undang.
Negara perlu melindungi kerja jurnalis dengan menghukum pelaku kekerasan.
Skandal pajak itu berpusat pada Angin Prayitno Aji, Direktur Ekstensifikasi Direktorat Jenderal Pajak. Ia diduga menerima suap dari setidaknya tiga perusahaan untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada awal Maret 2021, ia tak pernah muncul ke publik. Kementerian Keuangan pun telah menonaktifkan dia dari jabatannya. Walhasil, media massa tak pernah mendapatkan pernyataannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesempatan mendapatkan pernyataan Angin terbuka pada Sabtu malam lalu. Ia menggelar resepsi pernikahan anaknya, yang berpasangan dengan anak Komisaris Besar Achmad Yani, mantan Kepala Biro Perencanaan Kepolisian Daerah Jawa Timur. Nurhadi datang sebagai jurnalis, yang dilindungi Undang-Undang Pers, berusaha memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang jelas dan berimbang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, Nurhadi harus berhadapan dengan sekelompok orang tak beradab. Para penjaga pesta pernikahan—kemungkinan besar anggota kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia—menyekap dan mengeroyoknya. Mereka bertindak barbar, tak mencerminkan anggota kesatuan yang semestinya memahami hukum. Sebaliknya, mereka tak ubahnya preman jalanan.
Anggota institusi penegak hukum itu telah melanggar hukum. Menurut Undang-Undang Pers, mereka yang menghambat dan menghalangi kerja jurnalistik terancam pidana paling lama 2 tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Pelaku kekerasan juga melanggar Pasal 170 KUHP dan terancam pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
Kepolisian semestinya segera mengusut tindakan anggotanya itu. Apalagi bukan kali ini saja kekerasan ditujukan kepada jurnalis ketika tengah menjalankan tugasnya. Sepanjang tahun lalu, menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), terjadi 84 kasus kekerasan terhadap wartawan, terbanyak sepanjang sejarah dan meningkat drastis dari tahun sebelumnya, yakni 53 kasus. Kekerasan itu berupa intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, perampasan alat kerja dan hasil liputan, hingga ancaman dan teror.
Perlindungan terhadap kerja jurnalistik sangat rendah. Ironisnya, dalam banyak kasus kekerasan, pelakunya merupakan aparat negara. Menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum Pers yang dirilis pada Januari 2021, dari 117 kekerasan terhadap jurnalis pada 2020, sebanyak 76 kasus dilakukan polisi, 2 kasus oleh TNI, 5 kasus oleh warga atau massa, 4 kasus oleh pengusaha, dan sisanya tak diketahui pelakunya.
Jurnalis-jurnalis lain yang gigih memenuhi hak publik perlu perlindungan dari negara. Salah satu caranya adalah menghukum berat para pelaku kekerasan terhadap mereka. Termasuk para pengawal pesta Angin yang bertindak biadab kepada Nurhadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo