Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo berucap pendek ketika ditanya wartawan tentang kasus Kaesang Pangarep yang menggunakan jet privat untuk berpelesir bersama istrinya ke Amerika Serikat. Konteks pertanyaannya, apakah penggunaan jet mewah itu bisa dikaitkan dengan gratifikasi? Jawab Jokowi: “Semua orang sama di mata hukum.” Dan Presiden pun berlalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa makna ucapan itu? Secara normal tentu tidak ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Istilah lainnya tak pandang bulu. Apakah anak pejabat atau anak petani, jika melakukan tindak pidana, harus diproses. Artinya, Jokowi ikhlas jika Kaesang diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun orang-orang di sekeliling Istana membelokkan pernyataan singkat Jokowi itu. Bukankah banyak orang yang bepergian dengan jet privat dan kenapa cuma Kaesang yang dipermasalahkan? Ada Mahfud Md. yang naik jet pribadi Jusuf Kalla saat berceramah ke Makassar. Ada Anies Baswedan yang numpang jet privat saat kampanye. Banyak lagi, termasuk Puan dan ibunya, Megawati. Jadi Kaesang bukanlah yang pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalannya adalah untuk keperluan apa? Mahfud Md. diajak Jusuf Kalla karena diundang berceramah di Makassar. Anies sedang berkampanye dari satu kota ke kota lain yang tak mungkin ditempuh dengan jalan darat dalam waktu singkat. Sementara itu, Kaesang diketahui orang hanyalah untuk tujuan pelesiran. Tak ada kegiatan yang penting benar. Maka orang mempersoalkan dari mana juntrungannya bisa berfoya-foya di udara itu. Juntrungan inilah yang diviralkan di media sosial yang ujungnya: kalau bukan anak presiden, tak mungkin ada fasilitas itu. KPK pun bergerak. Entah mengusut dengan serius atau pura-pura.
Ternyata proses hukum bisa digerakkan atau tak digerakkan, bergantung pada viral-tidaknya sebuah kasus.
Mari kita cari contoh lain yang paling anyar. Ada Nyoman Sukena, petani di Desa Bongkasa, Kabupaten Badung, Bali. Ia ditangkap polisi karena kedapatan memelihara empat landak Jawa di rumahnya. Masyarakat menggolongkan landak sebagai hewan hama yang harus dimusnahkan. Hewan itu diburu dan dijadikan santapan.
Namun Sukena penyayang binatang. Mertuanya memberikan dua landak kecil dan Sukena pun memelihara landak itu. Dipelihara dengan kasih sayang sampai landak beda kelamin itu menghasilkan keturunan. Lima tahun kemudian, tiba-tiba polisi datang. Sukena diproses hukum karena landak dilindungi undang-undang. Berdasarkan laporan dan penyidikan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, Sukena bersalah dan harus diadili. Pada 5 September 2024, Sukena diadili di Pengadilan Negeri Denpasar dan jaksa mengajukan pasal dakwaan yang bisa menghukum Sukena maksimal 5 tahun penjara.
Sukena meronta. Dia tak tahu kalau landak dilindungi undang-undang. Lalu dia menyebutkan lima tahun landak dipelihara dengan kasih sayang, bukankah itu melindungi? Namun pihak BKSDA, polisi, dan jaksa sepakat, “Kami menjalankan bunyi undang-undang. Ada proses hukum di sana.” Sukena langsung dititipkan di penjara.
Media sosial jadi riuh. Kecaman ditujukan kepada para penegak hukum. Petisi online diluncurkan. Pengacara kondang membela Sukena dengan pro bono—tanpa dibayar. Politikus bersuara. Masyarakat adat, pengacara Maqdir Ismail, dan politikus Rieke Diah Pitaloka mengajukan penangguhan penahanan untuk Sukena. Hakim langsung mengabulkan saat sidang pemeriksaan terdakwa pada Kamis, 12 September 2024. Jumat esoknya, jaksa berbalik mengajukan tuntutan bebas. Pekan ini vonis hakim keluar. Sukena pastilah bebas. Pasal dalam undang-undang kalah oleh suara yang hidup di masyarakat.
Pada satu sisi, penegakan hukum masih bisa diutak-atik. Penguasa pun terkesan sesukanya. Hukum jadi alat untuk menjegal lawan. Pejabat dari kalangan politikus, apalagi sekelas pimpinan partai, jika melakukan korupsi tidak serta-merta diproses hukum. Kasusnya disimpan, lalu dijadikan sandera. Jika partai politik itu berani melawan kekuasaan, kasus dibuka. Penyanderaan ini sungguh jahat. Di satu sisi, korupsi makin marak asalkan berbaik-baik dengan penguasa. Di sisi lain, penguasa bisa melanggengkan kekuasaannya dengan cara kotor.
Masihkah kita menggaungkan negara berdasarkan hukum?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo