Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat kembali dikejutkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) soal kasus First Travel, karena MA memutuskan harta yang disita dalam kasus ini untuk negara. Putusan tersebut mengecewakan korban First Travel, yang jumlahnya ribuan dan pada umumnya merupakan masyarakat kelas ekonomi menengah dan bawah. Putusan tersebut sejatinya tidak menjawab tuntutan keadilan dan kemanusiaan yang diharapkan oleh para korban dalam kasus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perspektif hukum, putusan MA tersebut juga bertentangan dengan logika hukum. Emily Black (2001) menjelaskan bahwa pada tindak pidana pencucian uang, perampasan aset pelaku kejahatan dimaksudkan untuk memulihkan kerugian pada korban. Hal ini tentu dimaksudkan untuk meminimalkan kerugian ekonomi korban kejahatan tindak pidana pencucian uang, sebagaimana yang dilakukan First Travel.
Dalam tindak pidana pencucian uang, secara hukum harus ada hubungan yang logis antara perampasan aset, pengembalian, dan pihak yang berhak menerimanya kembali. Jika MA memerintahkan seluruh barang bukti dirampas untuk negara, hal ini membuktikan adanya kekeliruan penerapan hukum. MA menggunakan logika penerapan hukum penanganan kasus korupsi yang merugikan negara (posisi negara sebagai korban) pada kasus tindak pidana pencucian uang dengan warga negara sebagai pelaku dan korban, sedangkan negara dalam posisi memberi perlindungan bagi warganya.
Dalam konteks ini, putusan MA menjadi tidak tepat dalam konstruksi hukumnya karena negara tidak memiliki kepentingan atas barang rampasan tersebut. Lain halnya dengan tindak pidana korupsi yang disertai dengan pencucian uang yang merugikan negara, sehingga negara secara aktual menjadi korban korupsi dan pencucian uang tersebut.
Masalahnya, kini putusan yang nyata-nyata keliru itu sudah diputuskan di tingkat MA. Upaya hukum peninjauan kembali (PK), selain tidak dapat menunda eksekusi, memerlukan syarat. Adanya bukti baru (novum) merupakan syarat utama bagi upaya hukum luar biasa PK. Persoalan pada putusan kasasi terkait dengan First Travel adalah adanya kekeliruan hakim dalam menerapkan hukum sehingga hampir tidak mungkin dijawab dengan bukti baru sekalipun.
Masalah lainnya, soal eksekusi putusan tersebut. Dalam hal ini perlu ada upaya hukum yang dapat menangguhkan eksekusi tersebut dan mengoreksi putusan MA. Sebagaimana diungkapkan oleh Gustaf Radburch (1986), jika penerapan hukum tidak bermanfaat, penegakan hukum tersebut sebenarnya telah gagal karena tidak membawa kemanfaatan bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Pertanyaannya, apa manfaat hukum dari putusan MA tersebut bagi negara, yang merampas barang yang seharusnya menjadi hak bagi seorang nenek tua yang menabung sepanjang hidupnya demi memenuhi kebutuhan religiusnya? Koreksi atas putusan MA tersebut juga merupakan bentuk pembuktian bahwa negara ada untuk melindungi warga negaranya, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Koreksi atas putusan MA tersebut juga diperlukan agar putusan itu tidak menjadi preseden bagi penegakan hukum terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Koreksi tersebut juga sekaligus meluruskan penerapan Pasal 39 dan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam kasus tindak pidana pencucian uang.
Saat ini para korban First Travel memerlukan kepastian hukum. Maka, upaya hukum yang masih dapat dilakukan adalah melalui pengadilan niaga. Hal ini mengingat mereka perlu melakukan upaya hukum selain PK, karena PK tidak akan efektif guna melakukan koreksi atas kekeliruan putusan MA ihwal perampasan barang sitaan itu.
Upaya hukum yang masih dapat ditempuh oleh korban First Travel adalah meneruskan proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di pengadilan niaga melalui mekanisme gugatan pembatalan homologasi (perdamaian) oleh korban First Travel sebagai kreditor konkuren. Jika nantinya gugatan dikabulkan, First Travel akan masuk ke status pailit dan korban First Travel akan dapat memperoleh pengembalian melalui penjualan aset First Travel.
Jika pengadilan niaga mengabulkan, putusan tersebut akan dapat dijadikan dasar bagi pembatalan eksekusi putusan MA. Jika dalam hal ini pemerintah masih berkukuh untuk melakukan eksekusi atas putusan MA tersebut, pemerintah telah mengabaikan kewajibannya untuk melindungi segenap warganya sebagaimana telah dijanjikan dalam konstitusi. Demikian juga dalam hal ini, pernyataan Jaksa Agung ihwal putusan MA atas kasasi kasus First Travel yang dinilai bermasalah perlu diapresiasi, tapi ribuan korban First Travel memerlukan langkah konkret kejaksaan.
Langkah konkret kejaksaan yang diperlukan adalah tidak segera melelang aset dan menyerahkan kepada negara sesuai dengan putusan MA. Masyarakat memerlukan langkah konkret kejaksaan yang berpihak kepada kemanusiaan, terutama korban First Travel, sehingga tantangan bagi kejaksaan adalah mewujudkan hukum yang bermanfaat bagi warga negara, yakni dengan mengembalikan aset kepada korban melalui mekanisme yang dimungkinkan secara hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo