Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP warga negara Indonesia semestinya bebas melaksanakan ibadah tanpa rasa takut. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan negara bertanggung jawab menjamin kemerdekaan setiap warga negara beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Kebebasan beribadah itulah yang tercoreng oleh pembubaran paksa kebaktian kebangunan rohani (KKR) yang diselenggarakan umat Kristen di gedung Sasana Budaya Ganesa (Sabuga), Bandung, Selasa pekan lalu. Pembubaran yang dilakukan kelompok yang menamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) itu membuktikan negara tidak hadir menjalankan tanggung jawabnya.
Negara tampak tak berdaya ketika kelompok yang tidak toleran itu merenggut hak warga negara dalam menjalankan ibadah dan keyakinan agamanya. Tak sepatutnya aparat keamanan menyerah pada tuntutan sekelompok orang yang dengan sewenang-wenang meneror dan mengintimidasi umat yang sedang beribadah.
Kelompok ini berdalih kebaktian semestinya digelar di gereja, bukan di tempat umum seperti gedung Sabuga. Alasan kelompok itu tak tepat karena pemerintah kerap mengizinkan pelaksanaan ibadah di tempat umum. Pada 2 Desember lalu, misalnya, ratusan ribu muslim dengan leluasa menyelenggarakan salat Jumat dan doa bersama di Lapangan Monumen Nasional. Seperti halnya gedung Sabuga, Lapangan Monas dan jalan-jalan di sekitarnya merupakan fasilitas umum, bukan tempat ibadah. Setiap tahun salat Idul Fitri dan Idul Adha pun kerap dilaksanakan di tempat umum.
Negara tidak boleh tunduk kepada kelompok-kelompok intoleran seperti itu, yang dengan seenaknya mengambil alih fungsi penegak hukum. Tidak ada alasan apa pun yang membenarkan pembubaran kebaktian kebangunan rohani tersebut. Terlebih pelaksanaan kebaktian itu telah mengantongi izin dari kepolisian. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil juga telah menjamin hak beribadah bagi warga Kota Kembang. Ridwan tidak mempermasalahkan kegiatan keagamaan yang menggunakan bangunan publik selama sifatnya insidental.
Polisi harus bertindak tegas terhadap kelompok yang memaksa membubarkan kebaktian tersebut. Polisi tak boleh ragu menjatuhkan sanksi jika menemukan bukti pelanggaran hukum dalam peristiwa itu. Penegak hukum tidak boleh berkompromi dengan kelompok-kelompok tidak toleran seperti itu. Menyerah kepada kelompok intoleran, pada akhirnya, hanya akan menyuburkan semangat kelompok-kelompok serupa memaksakan kehendak. Para peneror akan semakin berani melaksanakan aksinya ketika penegak hukum melempem.
Peristiwa pembubaran KKR di Bandung ini menambah panjang daftar pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Pemerintah punya pekerjaan rumah menuntaskan sederet kasus pelanggaran yang terbengkalai. Pelanggaran yang belum dituntaskan antara lain penyegelan Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor dan diskriminasi terhadap Jemaah Ahmadiyah di pelbagai daerah.
Pembubaran KKR itu juga menunjukkan radikalisme dalam agama semakin berkembang di negeri ini. Tindakan yang tidak menghargai keberagaman itu akan mengganggu kebebasan beribadah jika pemerintah tidak segera menuntaskannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo