Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK gampang meredakan gonjang-ganjing politik yang dipicu isu sensitif soal penistaan agama. Presiden Joko Widodo mesti lihai mengemudikan republik ini agar demokrasi tak berubah jadi anarki. Tapi membiarkan kepolisian menggunakan jerat makar bagi tokoh politik dan aktivis jelas tidak bijak.
Ditakar dengan kaidah demokrasi, langkah polisi itu berlebihan. Delapan tokoh dan aktivis dijaring dengan tuduhan menggulingkan pemerintah bersamaan dengan aksi massa 212—sebutan untuk demonstrasi besar-besaran pada 2 Desember lalu. Mereka yang dijerat delik makar antara lain dua jenderal purnawirawan (Kivlan Zen dan Adityawarman Thaha), dua politikus Partai Gerindra (Eko Suryo Santjojo dan Firza Husein), tokoh buruh Alvin Indra Al Fariz, serta aktivis Ratna Sarumpaet. Tokoh kawakan Rachmawati Soekarnoputri dan Sri Bintang Pamungkas juga termasuk yang dijerat dengan aturan warisan kolonial itu.
Empat figur lain dijerat dengan pasal berbeda, yakni musikus Ahmad Dhani; bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Hatta Taliwang; serta dua aktivis, Rijal "Kobar" dan Jamran. Dhani dinyatakan sebagai tersangka penghinaan kepada penguasa. Sedangkan Hatta, Rijal, dan Jamran dituduh menyebarkan ujaran kebencian yang diatur Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik.
Pemakaian pasal penghinaan kepada penguasa itu kontroversial. Aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sebetulnya bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat. Aturan sejenis, seperti Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP, yang mengatur soal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden, bahkan telah dihapus Mahkamah Konstitusi.
Begitu pula penggunaan Pasal 107 dan 110 KUHP untuk memberangus kegiatan politik Rachmawati cs. Aturan soal makar ini sebetulnya tidak sesuai lagi dengan semangat konstitusi. Aktivitas politik yang sederhana pun bisa dijaring dengan aturan karet ini. Rachmawati dan rekan-rekannya beberapa kali memang mengadakan pertemuan politik dan menyerukan agar massa demo 212 datang ke Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menuntut kembali UUD 1945 yang asli.
Polisi curiga langkah politik Rachmawati dan kawan-kawan itu mendorong sebagian pendemo 212 menduduki gedung MPR dan menuntut sidang istimewa. Karena kekhawatiran ini, para tokoh itu diciduk sebelum aksi berlangsung. Untuk sementara waktu, antisipasi polisi membuahkan hasil: pendemo 212 bisa "dibersihkan" dari para pendompleng. Demonstran konsisten bergerak dengan motif awal: mendorong pengadilan bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang dijerat kasus penistaan agama.
Semestinya polisi berhenti di situ. Tak selayaknya mereka meneruskan kasus Rachmawati cs dengan dalih bermufakat jahat untuk melakukan makar sesuai dengan Pasal 110 KUHP. Sesuai dengan rumusan dalam KUHP ini, niat atau percobaan saja sudah masuk kategori makar. Begitu lenturnya aturan makar hingga orang yang sekadar berkumpul dan berdiskusi mengkritik pemerintah pun bisa saja ditangkap.
Rachmawati cs sebaiknya mengajukan permohonan uji materi pasal karet itu ke Mahkamah Konstitusi agar aturan ini tak memakan korban lagi. Pada 2007, pasal tersebut sebetulnya sudah dibawa ke Mahkamah bersama Pasal 154 dan 155 KUHP—dikenal sebagai pasal penyebar kebencian atau haatzaai artikelen. Penghapusan pasal makar itu ditolak karena pemohon dianggap tidak memiliki legal standing. Tapi permintaan menghapus aturan penyebar kebencian dikabulkan.
Jika dilakukan, pembatalan pengusutan terhadap Rachmawati cs akan membebaskan pemerintah dari tudingan menggunakan pasal pamungkas untuk menghadapi para pengkritik. Senjata ampuh penguasa yang tidak sesuai dengan semangat zaman ini semestinya tak perlu diluncurkan, asalkan pemerintah bersikap tenang dalam mengendalikan situasi.
Sayangnya, kepanikan pemerintah itu bahkan sudah terlihat saat mulai muncul demo umat Islam yang menuntut Ahok, yang dianggap menghina Al-Quran, diproses secara hukum. Polisi akhirnya menjadikan Ahok sebagai tersangka—proses hukum yang terkesan dilakukan sekadar untuk memenuhi tekanan masyarakat. Tidak semestinya desakan yang bermuatan sentimen agama, bahkan ras, ini diladeni.
Pemerintah Jokowi mesti memulihkan prinsip keberagaman yang terkoyak itu dengan melibatkan tokoh-tokoh agama. Perlu diantisipasi pula situasi yang masih terus panas saat Ahok diadili. Kepolisian sebaiknya mempertimbangkan kembali penggunaan pasal makar, apalagi bila tujuannya sekadar pencegahan atau untuk mengendalikan situasi politik yang keruh.
Masih ada kesempatan buat menyetop penyidik kasus makar. Tidak selayaknya demokrasi dan kebebasan berpendapat di republik ini dicederai reaksi politik Istana yang panik dan akhirnya memunculkan penerapan hukum yang serampangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo