Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Urgensi Protokol AI pada Platform Merdeka Mengajar

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk dunia pendidikan perlu diatur. Bagaimana dengan platform Merdeka Mengajar? 

2 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Urgensi Protokol AI pada Platform Merdeka Mengajar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Ada kecemasan terhadap berkembangnya kecerdasan buatan (AI).

  • Belum ada protokol untuk AI di platform Merdeka Mengajar.

  • Jangan sampai AI mengubah tujuan pendidikan bagi pelajar.

Iman Zanatul Haeri
Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dan Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Elon Musk bersama 1.800 pelopor, ilmuwan, dan teknisi teknologi informasi mengirim petisi ke Future of Life Institute (FLI), yang sedang mengembangkan kecerdasan buatan (AI) super. Mereka berharap petisi ini bisa menunda peluncuran super-AI tersebut, yang lebih canggih daripada GP-4, teknologi yang menjadi basis dari ChatGPT Plus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehadiran ChatGPT saat ini saja sudah membuat waswas kalangan pendidik karena kemampuannya dalam menjawab segala pertanyaan berdasarkan kata dan frasa yang ditanyakan. Mesin ini bisa memahami bahasa manusia dengan menciptakan percakapan yang lebih alami. Kemampuannya sudah diuji sampai taraf tertentu dan melahirkan jawaban yang argumentatif dan akademis. 

Di Amerika Serikat telah dilakukan percobaan terhadap ChatGPT ini dengan memberikan pertanyaan di level doktoral pada sekolah hukum dan bisnis. Aplikasi ini berhasil memberikan jawaban yang membuatnya dianggap lulus ujian (Reuters, 2023). Kemampuan ChatGPT ini berpotensi digunakan pelajar dan mahasiswa untuk menyontek saat mereka mengikuti ujian esai. Sebagai respons, sekolah-sekolah di New York memutuskan untuk melarang ChatGPT digunakan di lingkungan sekolah (The Guardian, 2023).

Respons ini sebenarnya hanya menunjukkan reaksi ketakutan, bukan realitasnya. Menurut survei Walton Family Foundation di Amerika Serikat, dari 1.002 guru tingkat sekolah menengah atas (SMA), 51 persen di antaranya pengguna ChatGPT. Namun, dari 1.000 pelajar, hanya 41 persen yang menggunakan ChatGPT. Artinya, lebih sering guru daripada murid yang menggunakan aplikasi tersebut.

Meskipun demikian, fenomena ini telah meresahkan kalangan pendidik. Teknologi pendidikan tampaknya berangsur-angsur mengarahkan dirinya untuk memenuhi impian menjadikan pendidikan semakin personal.

Wayne Holmes dkk., dalam Artificial Intelligence and Education: a Critical View Through the Lens of Human Rights, Democracy and Rule of Law (2022), menilai personalisasi memang membawa pelajar pada jalur pembelajarannya masing-masing, tapi juga tetap membawa ke hasil belajar yang sama seperti orang lain. Jalurnya personalisasi, tapi tujuannya tidak. Akhirnya, yang terjadi adalah penyeragaman tujuan pembelajaran. Hal ini bertentangan dengan janji bahwa setiap pelajar memiliki tujuan pembelajaran yang berbeda-beda.

Platform Merdeka Mengajar

Ambisi personalisasi pembelajaran oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diterapkan pada platform Merdeka Mengajar (PMM). Harapannya, para guru secara otomatis memahami maksud dan tujuan kurikulum dengan mengikuti paket pembelajaran yang disiapkan platform. PMM sudah dipenuhi beragam tahapan pemahaman andragogi bagi guru. Model asesmen bekerja sendiri. Guru bahkan bisa saling berbagi dengan guru lain dengan mengunggah praktik pembelajaran yang disebut "bukti nyata". Apakah aplikasi ini berhasil?

Kementerian mengklaim 1,82 juta guru telah menjalankan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM). Jumlah ini dihitung dari total pengunduh PMM di Google Play Store. Tentu ini tidak mewakili pemahaman kurikulum para guru. Banyak guru yang tidak tahu fungsinya dan menginstalnya hanya karena imbauan dinas dan kepala sekolah. Ada juga yang sekadar mengunduh dan kemudian menghapusnya, dan seterusnya.

Paradigma mendasar Kurikulum Merdeka Mengajar juga akan membuat kecerdasan buatan semakin tidak terkendali. Dalam kurikulum itu, konsep pembelajaran berpusat pada anak atau pembelajar-sentris sebagai paradigma utama. Pendekatan semacam ini memberi pelajar kendali besar atas proses belajar atau memaksimalkan agensi pembelajar.

Masalahnya, para pelajar, yang merupakan anak-anak, belum memiliki kapasitas yang sama dengan orang dewasa ketika memahami efek dari AI. Seperti konsep bias, keadilan, persetujuan, dan pemahaman yang akan membuat AI memberikan rekomendasi dan prediksi pada hidup mereka.

Selain itu, model personalisasi tersebut akan menjauhkan jarak antara guru dan pelajar. Hal ini diantisipasi dalam International Conference on Artificial Intelligence and Education yang diselenggarakan UNESCO di Cina. Pertemuan pada 2019 ini disebut Beijing Consensus atau Kesepakatan Beijing.

Salah satu poin Kesepakatan Beijing adalah bahwa “interaksi manusia dan kolaborasi antara guru dan pelajar harus tetap menjadi inti dari pendidikan. Sadarilah bahwa guru tidak dapat digantikan oleh mesin, dan pastikan hak dan kondisi kerja mereka terlindungi” (Pasal 12). Pada Pasal 13 dinyatakan “agar guru dipersiapkan bekerja secara efektif di lingkungan pendidikan yang kaya akan AI”.

Kebijakan pendidikan nasional kita belum sesuai dengan prinsip-prinsip pada pasal-pasal tersebut. Pertama, Kementerian Pendidikan lebih memprioritaskan digitalisasi dari tingkat pusat hingga daerah, padahal beberapa sekolah dan kantor dinas pendidikan belum siap infrastrukturnya, seperti listrik dan sinyal yang masih minim. Alih-alih mempersiapkan guru, Kementerian justru menyiapkan infrastruktur untuk AI bekerja bagi pendidikan.

Kedua, Kementerian lebih mengedepankan perubahan struktur kurikulum melalui platform digital agar terjadi percepatan sosialisasi kurikulum. Akibatnya, masih banyak guru yang belum memahami kurikulum baru karena kesenjangan digital belum dapat diatasi.

Ketiga, kesejahteraan guru, yang merupakan bagian dari hak mereka (Pasal 12 Kesepakatan Beijing), masih jadi persoalan. Seleksi aparatur sipil negara untuk pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) bagi guru, yang digembar-gemborkan untuk menyelamatkan guru honorer, justru merupakan upaya lepasnya tanggung jawab negara karena mereka tidak mendapat pensiun.

Sementara itu, AI yang bekerja untuk platform Kementerian hanya berorientasi pada engagement dan trafik, yang diukur melalui pertanyaan-pertanyaan pilihan ganda, centang, dan isian-isian singkat. Konten di dalamnya mengasumsikan bahwa guru belum melakukan perencanaan, kegiatan, dan asesmen dengan baik. Namun tidak ada pertanyaan mengenai kesejahteraan guru dan kendala biaya pendidikan. Padahal dua persoalan tersebut bisa menjadi penentu keberhasilan sebuah kurikulum.

Di sisi lain, para guru hanya pasrah dalam menggunakan aplikasi, tanpa memahami dampaknya bagi pendidikan. Sementara itu, sekolah, yang minim listrik dan sinyal, belajar seperti biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, meskipun aplikasi yang dibuat Kementerian selalu disebut-sebut sebagai produk terbaik yang akan berdampak bagi para guru yang masih berjuang untuk memahami apa yang terjadi.

Protokol AI

AI dalam platform Kementerian hanya bekerja untuk dirinya sendiri. Selain itu, AI adalah produk yang belum tuntas. Belum jelas bagaimana protokol penggunaannya, batas etisnya, risikonya, dan sejauh mana bisa mengamankan tujuan pendidikan kita. Masalahnya, sebagai pengguna, kalangan pendidik tidak pernah memperoleh informasi bagaimana algoritma yang bekerja saat AI digunakan bagi pendidikan. Bagaimana mesin ini bekerja, ke mana saja data ini digunakan, dan untuk siapa. Apakah kita memiliki hak untuk menuntut dan milik siapa data awan yang kita simpan di memori awan platform tersebut.

Belum jelas sejauh mana kita bisa menuntut transparansi dari sistem tertutup yang digunakan perusahaan teknologi pendidikan dan aplikasi yang direkomendasikan Kementerian. Selama ini, persetujuan dengan AI selalu merupakan kesepakatan yang sudah dibuat lebih dulu, yang menguntungkan pembuat aplikasi dan tidak bisa diubah. Inilah titik krusial bahwa AI sudah memiliki watak yang tidak demokratis dan tidak menjunjung hak-hak asasi manusia.

Uni Eropa sudah membentuk protokol kecerdasan buatan untuk pendidikan (AIED) sehingga mesin ini tidak merugikan dunia pendidikan. Misalnya, AIED hanya terbatas pada 1) memilih sumber dan perencanaan pembelajaran yang paling cocok; 2) membantu guru memilih pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pelajar, misalnya membantu menyediakan pembelajaran terindividualisasi bagi anak berkebutuhan khusus; 3) memprediksi pelajar yang akan drop out; 4) menyediakan chatbot untuk menjawab pertanyaan administratif dari pelajar dan orang tua.

Jika diperhatikan, protokol AIED ini membatasi AI pada persoalan administrasi pendidikan. Selain itu, pada level mikro, panduan etik penggunaan AIED dalam mengajar dan belajar juga harus segera dibuat. Sebab, dengan akses dan kontrol data yang begitu besar, AIED akan terus mengembangkan dirinya dan bukan tidak mungkin berpotensi besar menggeser perannya menjadi penentu kebijakan pendidikan. Kinilah saatnya Kementerian Pendidikan membuat protokol untuk kecerdasan buatan di dunia pendidikan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iman Zanatul Haeri

Iman Zanatul Haeri

Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) dan Wakil Sekretaris Jenderal Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus