Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Kekerasan Seksual di Baitullah

Seorang jemaah umrah Indonesia diadili di Arab Saudi dalam kasus kekerasan seksual di depan Ka'bah.

30 Januari 2023 | 00.00 WIB

Kekerasan Seksual di Baitullah
Perbesar
Kekerasan Seksual di Baitullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Seorang anggota jemaah umrah Indonesia diadili di Arab Saudi.

  • Dia didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan Libanon.

  • Perlu sosialisasi tentang kekerasn seksual bagi calon haji dan umrah.

Lies Marcoes
Visiting Fellow pada KITLV, Leiden University, Belanda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Awal tahun ini, seorang lelaki anggota jemaah umrah Indonesia dituntut 2 tahun penjara di pengadilan Arab Saudi. Ia dituduh melakukan kekerasan seksual oleh seorang perempuan Libanon ketika sedang tawaf mengelilingi Ka'bah dan hendak mencium hajar aswad.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Bagi bangsa Indonesia, ibadah haji dan umrah telah berlangsung sejak berabad-abad silam. Namun peristiwa serupa itu hampir tak pernah terdengar. Bagaimanapun, kesadaran publik, kesadaran perempuan tentang hak untuk terbebas dari kekerasan seksual, semakin menguat di dunia. Peristiwa itu tak bisa dianggap sebagai pengecualian yang sial atau akan berhenti dengan sendirinya ketika telah berlalu. Kesediaan untuk mempersoalkan hal ini dapat membantu anggota jemaah Indonesia tak terjerat hukum internasional yang berhubungan dengan kekerasan seksual.

Tulisan ini hendak menguraikan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama sebagai satu-satunya lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji. Tak hanya untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan terjadinya hal serupa di masa mendatang, tapi juga untuk semakin memperbaiki layanan haji yang saat ini dinilai sudah semakin baik.

Secara anekdotal, pelecehan atau kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam ibadah umrah dan haji tak sulit didengar. Namun, selain korban, biasanya orang terpaksa memakluminya mengingat ibadah berlangsung dalam ruang yang super padat, yang tak memungkinkan ada jarak fisik antar-anggota jemaah. Bahkan, sering orang menganggap bahwa hal itu merupakan karma buruk bagi korban dengan bukti bahwa perempuan lain tak mengalaminya. Sejumlah hal yang dapat diperbincangkan mencakup beberapa hal berikut ini.

Pertama, di tataran konseptual, harus ada kesediaan untuk mengakui bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, tak terkecuali di tempat ibadah agama apa pun dan bisa dialami oleh siapa pun, baik tua, muda, laki-laki, maupun perempuan. Namun, dalam struktur sosial yang membagi manusia berdasarkan status dan peran gendernya, perempuan menjadi lebih rentan dibanding lelaki, meskipun lelaki juga sangat mungkin mengalaminya dengan pelaku sesama lelaki atau perempuan yang merasa punya kuasa atas korban. Pengakuan ini merupakan dasar logika penting untuk membuka diri atas kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di tempat ibadah sekalipun dan kejadian itu bukanlah sebuah karma buruk bagi korban.

Kedua, masih di tataran konseptual, kekerasan seksual hanya terjadi dalam hubungan-hubungan sosial yang timpang. Dalam ruang fisik yang padat dan kacau, seperti di ruang ibadah yang masif, tempat satu sama lain tidak mengenal status sosialnya, ketimpangan itu bisa mewujud dalam bentuknya yang paling primitif, yakni maskulinitas lelaki yang dianggap memiliki kuasa sosial, politik, fisik, dan mental yang lebih unggul dibanding femininitas perempuan yang dianggap lemah dan emosional. Relasi kuasa serupa itu secara teori sudah lama diketahui sebagai dasar terjadinya kekerasan seksual, meski manifestasi dari relasi kuasa itu bisa nyata atau tersamar.

Ketiga, berbeda dari kekerasan yang basisnya non-gender, seperti kekerasan antar-kelompok etnis, suku, ras, atau agama, dalam kekerasan seksual berbasis perbedaan gender, pihak korban biasanya terpengaruh oleh logika dan keyakinan pelaku yang menganggap punya hak untuk melakukan kekerasan. Dalam kekerasan berbasis gender, korban sering kali termakan oleh anggapan yang memaklumi tindakan pelakunya mengingat penerimaan sosial atas status dan peran gendernya, misalnya dengan adagium “namanya juga lelaki”.

Atas dasar logika sesat seperti itu, ketika terjadi kekerasan pada perempuan, yang disalahkan adalah perempuan sendiri karena berada di “sarang penyamun”. Logika ini, jika dilanjutkan dalam bentuk tindakan, bisa sangat merugikan perempuan. Misalnya, perempuan disingkirkan dari ruang yang dianggap milik dominan lelaki, seperti ruang-ruang publik, termasuk ruang ibadah yang bersifat publik, atau perempuan harus “sadar diri” akan tempatnya sebagai penumpang gelap ruang publik. Dalam ibadah haji, misalnya, ini bisa berbentuk pembatasan-pembatasan yang diskriminatif, baik dalam penempatan ruang, waktu, maupun bentuk perlindungannya.

Untuk mengatasi pemahaman yang keliru serupa itu, hal yang harus dipegang teguh adalah prinsip bahwa ibadah merupakan hak setiap manusia dan standar pelayanan ibadah, karena itu, bukan menggunakan ukuran mereka yang paling kuat, melainkan mereka yang paling lemah, seperti orang tua, perempuan, perempuan hamil, anak-anak, dan penyandang disabilitas. Semakin terjamin keselamatan dan keamanan bagi mereka yang dalam posisi lemah, semakin sempurna wujud penghormatan para penyelenggara haji terhadap tamu-tamu Allah ini.

Secara lebih praktis, pengakuan akan adanya kekerasan seksual dalam ibadah haji dan umrah harus dimulai dengan penyediaan “data pembuka mata”. Ketersediaan data ini bukan untuk menunjukkan kelemahan layanan ibadah, melainkan untuk memetakan di titik rawan tempat kekerasan seksual mungkin terjadi dan bagaimana cara mengatasinya. Data itu juga penting untuk menegosiasikan kebutuhan peningkatan layanan dari pihak penyelenggara haji, dalam hal ini pemerintah Arab Saudi.

Bersamaan dengan itu, upaya mensosialisasi tentang kekerasan seksual dan ancamannya bagi pelaku dalam pergaulan internasional seperti dalam ibadah haji atau umrah harus menjadi bagian dari paket informasi bagi setiap anggota jemaah. Masuk dalam paket informasi itu adalah penjelasan tentang perbedaan budaya agar anggota jemaah dapat memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang terkait dengan hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

Kementerian Agama perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara yang secara spesifik menangani kekerasan seksual, seperti Komisi Nasional Perempuan serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau dengan lembaga yang punya pengalaman dalam penyelenggaraan pusat krisis berbasis pesantren. Kementerian dapat mengundang keahlian mereka dalam merancang dan merumuskan cara-cara penanganan kekerasan seksual selama pengelenggaraan ibadah haji dan umrah. Hal ini mencakup penyediaan hotline yang dapat menerima pengaduan dan penjemputan korban serta pendampingannya.

Bagian yang tak kalah penting adalah tersedianya lembaga bantuan hukum yang dapat membantu anggota jemaah yang ditersangkakan sebagai pelaku. Bukan saja untuk memastikan tidak terjadinya penghukuman yang sesat akibat penanganan perkaranya yang tidak optimal, tapi juga dalam menyediakan pembelaan yang semestinya agar tak terjadi penghukuman yang salah alamat. Ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk memberi pemakluman bahwa kekerasan seksual mustahil terjadi dalam proses ibadah, tapi untuk memastikan keadilan diterima oleh setiap orang yang berhadapan dengan hukum.

Pada akhirnya, penerimaan yang terbuka atas kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di sepanjang ibadah haji dan umrah merupakan jalan lebar yang tepat untuk perbaikan dan penyempurnaan pelayanan ibadah tersebut bagi jemaah Indonesia.



PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus