Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perkara Suku Bunga dan Bayang-bayang Inflasi

Bagaimana merespons kenaikan suku bunga The Fed untuk mencegah inflasi dan resesi ekonomi?

24 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perkara Suku Bunga dan Bayang-bayang Inflasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ronny P. Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa Cina, Rusia, dan Turki memilih langkah berbeda menyikapi inflasi dan kenaikan suku bunga acuan The Fed, bank sentral Amerika Serikat? Ketiga negara tersebut justru menurunkan suku bunga bank sentralnya di saat negara-negara besar lain mengikuti langkah The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan. Jawabannya adalah pertumbuhan ekonomi. Cina, Rusia, dan Turki mengalami penurunan keluaran ekonomi (economic output) berturut-turut dalam beberapa kuartal terakhir. Lantas, mengapa Amerika justru menaikkan suku bunga, padahal pertumbuhan ekonominya juga melandai? Jawabannya adalah inflasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kembali merebaknya Covid-19 yang mengharuskan kebijakan penutupan wilayah (lockdown) diberlakukan lagi adalah sebab utama penurunan pertumbuhan di Cina. Sedangkan peperangan dan sanksi ekonomi adalah sebab lain di Rusia. Di Turki, penyebab menurunnya keluaran ekonomi adalah perpaduan dari pelemahan permintaan akibat pandemi dan inflasi tinggi yang tak berkesudahan. Jadi, menjaga pertumbuhan ekonomi menjadi alasan utama mengapa mereka menurunkan suku bunga pada saat The Fed menaikkan suku bunga di satu sisi dan inflasi yang lumayan tinggi di sisi lain.

Basis Teori

Tentu, kebijakan tersebut juga mempunyai justifikasi yang jelas. Baik menurunkan maupun menaikkan suku bunga sejatinya memang memiliki basis teori masing-masing. Studi mendalam Milton Friedman dan Anne Schwartz pada 1963 dalam bukunya, The Monetary History of United States, menyatakan bahwa pencekikan likuiditas (menaikkan suku bunga tinggi) oleh The Fed menjadi penyebab terjadinya Depresi Besar pada 1929-1930-an. Karena itu, untuk menghindari hal yang sama terjadi pada 2008, gubernur bank sentral Amerika, Ben Bernanke, memilih jalan sebaliknya.

Pada 2008, Bernanke memutuskan untuk memangkas suku bunga sampai nol dan melakukan pembelian aset sampah sektor keuangan secara besar-besaran atau quantitative easing (QE). Hal ini menyebabkan aset The Fed menggelembung lima kali lipat lebih dan memicu terjadinya jebakan likuiditas (saat hampir semua orang lebih suka memegang uang tunai daripada utang), kemudian resesi besar pada 2009 dan stagnasi sekular pada tahun-tahun seterusnya. Tesisnya kemudian adalah bahwa krisis keuangan menyebabkan resesi.

Beberapa studi lainya berusaha merevisi kajian Milton Friedman tersebut. Richard Koo, mantan Direktur Nakamura Institute di Jepang sekaligus guru besar di Waseda University, dalam bukunya, The Balance Sheet Recession (2003) dan The Holy Grail of Macroeconomics (2008), menyatakan bahwa secara microekonomi, resesi neracalah yang menyebabkan resesi.

Resesi neraca (balance sheet crisis) adalah resesi ekonomi yang terjadi ketika perusahaan mengalami penurunan keuntungan dan kemudian menyesuaikan neracanya dengan berhenti menambah utang di satu sisi dan berfokus membayar utang di sisi lain. Walhasil, ekonomi berhenti berekspansi yang menyebabkan keluaran ekonomi nasional menurun. Dalam situasi demikian, keputusan The Fed mengetatkan likuiditas tentu langsung memicu depresi besar. Karena itu pula, Koo mengapresiasi langkah Bernanke.

Hal yang hampir mirip disimpulkan oleh kelompok monetaris pasar, yang menyatakan bahwa bukan krisis finansial yang menyebabkan resesi, baik pada 1929 maupun 2008, melainkan sebaliknya, resesi ekonomi yang menyebabkan krisis finansial. Kelompok ini, yang diwakili oleh Scott Sumner, dalam buku barunya, The Money Illusion (2021), menghadirkan data representatif bahwa memang sebelum terjadi depresi besar atau krisis kredit perumahan (subprime mortgage), keluaran ekonomi Amerika sudah menurun di beberapa negara bagian utama, walaupun terlihat tidak terlalu drastis. Kesimpulannya, keputusan Bernanke sudah tepat tapi kurang agresif. Semestinya The Fed dan pemerintah lebih agresif lagi dalam membuka kran likuiditas untuk memicu pertumbuhan ekonomi.

Kendati demikian, keputusan menurunkan suku bunga dan menyuntikkan dana via kebijakan fiskal pemerintah untuk menghadapi krisis dan mempertahankan pertumbuhan tak sepenuhnya terbukti. Pemberian dana talangan (bailout) besar-besaran di Amerika, Eropa, dan Jepang sama sekali tak mengembalikan kinerja ekonomi mereka ke level yang tinggi. Dengan kata lain, resep intervensionisme ala mazhab Keynesian tak sepenuhnya bisa dijadikan bantalan untuk mempertahankan atau meningkatkan permintaan agregat.

Antony J. Makin dari Griffith University, dalam bukunya, The Limit of Fical Policy (2018), membuktikan bahwa intervensi berupa dana talangan atau suntikan dana dari pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nyatanya tak mengeluarkan negara-negara seperti Amerika, Uni Eropa, dan Jepang dari kubangan pertumbuhan ekonomi rendah.

Yang dilakukan Amerika dan Eropa atas nama quantitative easing (QE) atau di Jepang disebut qualitative and quantitative easing (QQE) dibarengi dengan suku bunga rendah tidak terbukti mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut. Keputusan Cina untuk membombardir ekonominya dengan stimulus kredit murah sebesar empat triliun yuan saat krisis finansial pada 2008 juga tidak membuat Cina bertenaga dalam mengembalikan laju pertumbuhan ekonomi cepatnya. Tapi, boleh jadi, tanpa stimulus semacam itu, justru keadaannya lebih buruk atau bahkan bertambah krisis. Ya, boleh jadi, alias baru sekadar asumsi.

Di sini kita bisa melihat bahwa langkah Cina, Rusia, dan Turki memiliki acuan yang berbeda dengan langkah The Fed dan pengikutnya. Ketiga negara tersebut lebih berfokus pada permintaan agregat (Keynesian) ketimbang inflasi (terutama inflasi moneter) dalam mengambil keputusan penurunan suku bunga untuk mencegah terjadinya resesi, yang boleh jadi berpeluang menghadirkan krisis finansial. Ini juga karena pengaruh pasar uang di ketiga negara itu tidak semasif pengaruh pasar uang di Amerika. Dengan demikian, keputusan menurunkan suku bunga pada saat The Fed menaikkan suku bunga di tengah penurunan keluaran ekonomi domestik di ketiga negara tersebut sangat bisa diterima. Justru yang bermasalah hari ini adalah Amerika, yang perpaduan besarnya uang beredar dan penurunan permintaan agregat yang memicu inflasi tinggi membuat ekonomi Negeri Abang Sam “overheated”, ketika ekonomi mencapai batas kapasitasnya untuk memenuhi agregat permintaan, karena faktor Keynesian dan monetarisme sekaligus.

Keduanya sama-sama berisiko. Menaikkan suku bunga berisiko menurunkan keluaran ekonomi. Kalau keluaran ekonomi sudah turun sebelumnya, seperti Amerika, maka akan mempercepat resesi. Tapi, jika menurunkan suku bunga pada saat ekonomi menurun, justru peluang gelembung ekonomi semakin besar. Memaksa ekonomi tetap menghasilkan keluaran yang sama pada saat dunia sedang mengalami resesi akan memicu gelembung produksi, lalu kredit macet, dan krisis keuangan. Atau, minimal, seperti kata Paul Krugman, akan terjadi jebakan likuiditas. Berapa pun liduiditas dilepaskan, sudah tidak mampu menaikkan keluaran ekonomi. Karena risiko tersebut, baik Cina, Rusia, Turki, maupun Amerika dan pengikutnya menggeser angka suku bunga secara “tipis-tipis” (menaikkan atau menurunkan), lalu melihat reaksinya kemudian. Jika hasilnya bagus, akan ditahan atau dilanjutkan. Tapi, jika membahayakan, akan berbalik arah.

Langkah Bank Indonesia

Bagaimana dengan Bank Indonesia, yang menaikkan suku bunga acuan beberapa kali mengikuti langkah The Fed? Pada mulanya, alasan BI adalah ekspektasi inflasi karena rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). BI menilai harga BBM akan dinaikkan (subsidi dikurangi) sehingga akan mendorong angka inflasi setelah kenaikan. Artinya, ketika itu BI belum benar-benar beralih dari alasan pertumbuhan ekonomi untuk menahan suku bunga ke alasan inflasi untuk menaikkan suku bunga, tapi baru berada di antara keduanya, yakni ekspektasi inflasi alias inflasi yang berpotensi akan terjadi akibat satu kebijakan.

Setelah isu beralih dari inflasi ke pelemahan mata uang rupiah, BI kemudian secara konsisten merespons kenaikan suku bunga The Fed. Langkah tersebut layak diapresiasi karena imbas pelemahan rupiah yang berlebihan tak kalah merusak dibanding inflasi. Dampaknya kepada pertumbuhan tentu tetap ada.

Saya mengasumsikan bahwa suku bunga The Fed baru akan berhenti naik di level 5 persenan. Artinya, suku bunga acuan BI akan berhenti naik di level 6-7 persen. Mau tak mau, target pertumbuhan untuk tahun ini sangat mungkin tidak tercapai karena aliran kredit untuk investasi baru atau ekspansi bisnis baru akan ikut terbebani. Namun hal tersebut adalah imbas yang setimpal ketimbang harus menghadapi inflasi di satu sisi atau depresiasi rupiah yang berlebihan di sisi lain.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ronny P Sasmita

Ronny P Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus