Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Lagu Lama Defisit Batu Bara

Defisit pasokan batu bara kembali mengancam PLN. Menjadi momentum untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

8 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Editorial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Defisit batu bara yang mengancam PLN menjadi penanda gagal totalnya pemerintah mengelola pasokan komoditas tersebut. Kondisi berulang ini berpotensi mengganggu kegiatan operasional perusahaan setrum negara itu dalam memproduksi dan menyalurkan listrik ke masyarakat.

PLN baru-baru ini mengeluhkan minimnya stok batu bara yang kini hanya cukup untuk 19 hari operasi, atau di bawah angka ideal 20 hari. Seretnya pasokan dipicu oleh sikap pengusaha yang memilih mengekspor batu bara ketimbang memenuhi pasokan domestik (domestic market obligation) untuk PLN.

Apalagi harganya terus menanjak. Per Agustus 2022, harga batu bara acuan menyentuh US$ 321,59 per ton. Harga ini lebih dari dua kali lipat harga pada periode yang sama tahun lalu. Sedangkan di dalam negeri, PLN hanya bisa membeli batu bara dengan harga maksimal US$ 70 per ton. Selisih harga yang kian lebar menjadi alasan pengusaha tak mengindahkan aturan wajib pasok tersebut.

Bak lagu lama dari kaset yang kembali diputar, kejadian ini persis dengan kondisi pada akhir tahun lalu. Saat itu sinyal kekurangan pasokan batu bara terlihat sejak semester II 2021. Tapi pengusaha tak kunjung memenuhi janjinya: menyuplai 5,1 juta ton batu bara.

Akibatnya, 20 pembangkit listrik yang melayani 10 juta konsumen terancam mati. Bukannya menghukum perusahaan yang bandel karena tak melaksanakan DMO, pemerintah melarang seluruh ekspor selama sebulan penuh pada 1-31 Januari 2022. Larangan ekspor ini tak menyelesaikan masalah.

Kali ini, pengusaha berdalih tak kunjung menjual batu bara ke PLN karena masih menunggu terbentuknya badan layanan umum atau BLU batu bara yang dijanjikan pemerintah. Adalah Menteri Luhut Pandjaitan yang menyebutkan badan pemungut dan pengelola iuran batu bara itu hanya butuh waktu 1-2 bulan untuk bisa terbentuk.

Di atas kertas, ide BLU batu bara seperti membawa angin segar karena menawarkan win-win solution bagi PLN dan pengusaha. Badan itu diharapkan bisa menghapus disparitas harga yang selama ini terjadi. PLN tetap membeli batu bara di harga US$ 70 per ton. Jika harga pasar lebih tinggi dari harga DMO, selisihnya dibiayai oleh BLU, yang sumber dananya berasal dari iuran ekspor batu bara.

Tapi, hingga kini, payung aturan soal BLU masih belum jelas. Begitu pula dengan pengurus BLU batu bara. Aturan detail soal besaran iuran yang harus disetor pengusaha, waktu penyaluran dana kompensasi bagi pemasok, hingga mekanisme transparansi pengelolaan BLU batu bara masih gelap.

Berkaca dari pengelolaan dana sawit, BLU batu bara tidak bisa dianggap sebagai solusi ideal untuk mengatasi kelangkaan pasokan sumber energi pembangkit listrik tenaga uap. Dengan mekanisme pengelolaan serupa dana sawit, terbentuknya lembaga itu bisa membuka peluang terciptanya moral hazard baru. Apalagi bila pengelolaan iuran menggunakan model on budget off treasury: pungutan dicatat sebagai penerimaan negara, tapi tidak masuk ke kas negara. Skema ini rawan disalahgunakan.

Itulah yang terjadi dengan dana sawit. Kita tahu dana sawit lebih banyak tercurah untuk subsidi biodiesel B30, bukan untuk mengembangkan komoditas sawit berkelanjutan. Sebagian besar dana pungutan sawit mengalir kembali ke kantong pengusaha—terutama yang dekat dengan pemerintah. Sementara itu, pengembangan perkebunan sawit rakyat, serta empat program kegiatan lainnya, dikesampingkan. Kita tak mau kejadian yang sama terulang di sektor batu bara.

Untuk mengatasi krisis saat ini, pemerintah mesti merumuskan regulasi dan model bisnis yang lebih adil. Pengusaha yang memperoleh izin pertambangan tentu boleh mendapatkan keuntungan. Namun, bila keuntungannya sudah melambung dan tak wajar—sementara ada banyak orang yang harus menanggung beban—pemerintah harus turun tangan. Salah satunya dengan menerapkan bea keluar progresif. Jika harga pasar barang tambang sedang tinggi, bea keluar mengikuti. Begitu juga sebaliknya.

Pengenaan bea keluar harus masuk ke kas negara. Penggunaan dana untuk menutup selisih biaya produksi listrik diputuskan melalui mekanisme anggaran. Kepentingan industri harus dijauhkan.

Di sisi lain, melambungnya harga batu bara di pasar global seharusnya menjadi momentum untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pengembangan energi bersih yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan begitu, lagu lama defisit batu bara PLN tak terus berulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus