Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
MK menolak uji materi legalisasi ganja medis
Kementerian Kesehatan mesti melanjutkan riset ganja medis meski MK menolak gugatan.
PBB sudah mengeluarkan ganja dari golongan zat sangat adiktif sejak 2020.
Putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, termasuk soal legalisasi ganja untuk keperluan medis, pada Rabu lalu, memperlihatkan sikap hukum yang picik. MK berpegang pada keyakinan kuno yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan pengetahuan, bahwa ganja tanaman laknat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Santi Warastuti, salah seorang yang mengajukan uji materi atas undang-undang itu. Perempuan asal Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersebut menginginkan ganja dilegalkan untuk tujuan kesehatan. Dia membutuhkan minyak ganja untuk terapi anaknya yang menderita cerebral palsy. Anak Santi pernah memperoleh terapi minyak ganja di Australia, dan itu sangat membantu. Tentu dengan resep dan pengawasan otoritas setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UU No. 35 memasukkan ganja dalam kategori narkotik golongan 1, yakni zat berbahaya yang berpotensi disalahgunakan. Selain menggugat ke MK, akhir Juni lalu Santi berdemo menggugat negara agar melegalkan ganja untuk keperluan medis. Aksinya sempat viral dan membuka kembali perbincangan soal legalisasi ganja medis. Bahkan Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang melegalkan ganja untuk tujuan medis. Namun semua itu "dibunuh" oleh putusan MK.
Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan spesial untuk menguji undang-undang, MK semestinya menimbang putusannya dengan mempertimbangkan semua faktor. Dalam hal ganja, semestinya MK menelaah juga dokumen ilmiah mengenai tanaman tersebut, sikap negara-negara lain, dan sisi kemanusiaannya. Tapi tampaknya MK tidak melakukan itu.
Majelis hakim menolak gugatan Santi dengan alasan belum ada kajian yang komprehensif mengenai penggunaan ganja untuk tujuan medis. MK kembali ke sikap kuno bahwa penggunaan tumbuhan itu pada manusia akan menyebabkan ketergantungan yang membahayakan. Semestinya majelis hakim mau terbuka, atau setidaknya menengok ke negara lain.
Saat ini sudah lebih dari 30 negara mengizinkan penggunaan marijuana atau ganja untuk terapi medis, di antaranya Australia, Jerman, Brasil, Norwegia, dan Thailand. Di Amerika Serikat, hingga saat ini 39 negara bagian plus Washington, DC, sudah melegalkan ganja medis dan 19 di antaranya mengizinkan penggunaannya untuk rekreasi bagi orang dewasa.
Thailand, tetangga kita, sudah melegalkan ganja medis sejak 2018 dengan pengawasan yang ketat. Juni lalu, pemerintah Thailand bahkan menghapus ganja dari daftar zat terlarang. Mereka yakin Cannabis sativa bisa mengerek perekonomian negara. Kini di berbagai penjuru Thailand menjamur toko-toko ganja untuk rekreasi. Roda perekonomian baru pun berputar. Thailand memperkirakan lima tahun mendatang bisnis ganja akan bernilai sekitar US$ 3 miliar atau Rp 45 triliun.
Selain itu, legalisasi ganja meringankan tekanan terhadap sistem hukum karena pengguna ganja bukan lagi penjahat. Menyusul legalisasi ganja, Thailand melepaskan ribuan tahanan yang dipenjara karena mengkonsumsi tanaman ini. Di Indonesia, menurut catatan Badan Narkotika Nasional, pengguna narkotik sebanyak 3,6 juta orang. Dari jumlah itu, 63 persen adalah pengguna ganja.
Akhir Juni lalu, Menteri Budi Gunadi Sadikin mengatakan penelitian ganja untuk medis diperlukan guna meneliti manfaat tumbuhan itu bagi kesehatan. Morfin yang terbuat dari opium pun, kata Budi, ternyata bermanfaat bagi tujuan medis. Kita berharap, meski upaya melegalkan ganja sementara gagal, ikhtiar medis terus berjalan. Kementerian Kesehatan hendaknya segera memulai penelitian.
Seandainya Kementerian Kesehatan bisa membuktikan bahwa terapi ganja betul meringankan gejala banyak penyakit, termasuk cerebral palsy yang diderita anak Santi, dan tanpa efek samping yang membahayakan, pemerintah dan DPR semestinya tidak ragu untuk melegalkannya. Apalagi Komisi PBB untuk Obat-obatan Narkotik (NCD) pada akhir 2020 juga telah mengeluarkan ganja dari kategori zat adiktif berbahaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo