Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya tidak serius mengusut dugaan pemerasan yang menyeret Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri. Dengan bukti pelanggaran yang sudah terang benderang, para penyidik seperti mengajak Firli “bermain-main” ketimbang segera menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan terhadap bekas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Buying time yang dilakukan anak buah Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto ini sungguh keterlaluan dan mempermainkan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seharusnya polisi menetapkan tersangka dalam gelar perkara kasus pemerasan yang melibatkan Firli pada Jumat, 3 November lalu. Semua saksi, termasuk sejumlah ahli pidana dan mikro-ekspresi, yang mengetahui kasus tersebut telah diperiksa. Bukti-bukti yang dimiliki penyidik juga sudah cukup untuk menetapkan tersangka perdana. Namun gelar perkara tersebut batal karena tiba-tiba ada permintaan agar para penyidik memeriksa Firli lagi hari ini, Selasa, 7 November 2023.
Penundaan ini jelas mencurigakan. Saat ini tim KPK sedang menggenjot penyelidikan kasus korupsi pembangunan jalur ganda kereta api Solo Balapan-Kadipiro-Kalioso. Penyelidikan itu ditengarai menyasar Muhammad Suryo, pengusaha asal Yogyakarta yang diduga dekat dengan Inspektur Jenderal Karyoto. Aroma saling sandera kasus antara Firli dan Karyoto pun kian tercium. Dua teman satu angkatan di Akademi Kepolisian tahun 1991 itu seperti siap membuka borok lawannya.
Publik pun bisa mencurigai penundaan itu berbau politis. Pemeriksaan Firli—entah datang atau kembali mangkir seperti sebelumnya—diadakan saat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mengumumkan hasil sidang etik terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman serta koleganya dalam putusan batas usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan itu membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden. Kesamaan hari pemeriksaan ini bisa membuat publik mencurigainya sebagai pengalihan isu.
Divisi Profesi dan Pengamanan Polri perlu memeriksa para penyidik Polda Metro Jaya dan atasannya. Mereka perlu menyelidiki bagaimana kasus besar yang bisa membuat seorang Ketua KPK diterungku tak segera tuntas. Perintah menunda gelar perkara hanya bisa dikeluarkan oleh orang dengan pangkat tinggi dan power besar. Manuver apa pun yang dilancarkan KPK seharusnya tak membuat penyidik Polda Metro Jaya ciut nyali menetapkan Firli sebagai tersangka. Penyidik tak perlu terlibat dalam perang bintang antara Firli dan Karyoto ataupun politisasi kasus ini.
Kejahatan yang diduga diperbuat oleh Firli sangat kasatmata. Tanpa perlu membuktikan kasus pemerasan, polisi sudah bisa menetapkan Firli sebagai tersangka. Sebagai pemimpin KPK, ia telah menemui pihak beperkara, yaitu Syahrul Yasin Limpo, di lapangan badminton. Politikus NasDem itu kini ditahan KPK dalam kasus penyalahgunaan surat pertanggungjawaban keuangan negara dan penerimaan gratifikasi dari pejabat di Kementerian Pertanian. Pertemuan itu bisa membuat Firli dipenjara 5 tahun.
Penyidik pun telah memiliki amunisi lain untuk menjerat Firli dalam kasus dugaan gratifikasi. Firli ditengarai menikmati fasilitas rumah di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang disewa oleh pengusaha hiburan malam, Tirta Juwana Darmadji alias Alex Tirta, senilai Rp 650 juta per tahun. Alasan bahwa Firli membayar sewa rumah lewat Alex jelas tak masuk akal. Lagi pula, buat apa seorang Ketua KPK menyewa rumah semahal itu? Namun status perkara ini bisa dinaikkan setelah kasus antara Firli dan Syahrul naik ke tahap penyidikan.
Dugaan gratifikasi itu seharusnya membuat Dewan Pengawas KPK bergerak cepat memberhentikan Firli. Dewan Pengawas KPK selama ini terlalu sering memberikan keistimewaan kepada Firli yang berulang kali terindikasi melakukan pelanggaran etik—ia tak hanya sekali bertemu dengan pihak yang beperkara. Mempertahankan Firli di kursinya hanya semakin menunjukkan betapa KPK di era Presiden Jokowi tersesat terlalu jauh di jalan berlumpur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo